Pemerintah telah menetapkan Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang selalu
diperingati setiap tanggal 12 November (jangan tertukar ya dengan Hari Kesehatan
Dunia setiap tanggal 7 April). Dan nanti pada tanggal 12 November 2018
merupakan HKN ke-54. Maka, untuk itulah, kesehatan nasional harus terus
menjadi perhatian bersama, bukan hanya tugas Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI) semata. Program GERMAS (Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat) yang begitu didengung-dengungkan oleh Kemenkes
RI (diprakarsai melalui Instruksi presiden/Inpres Nomor 1 Tahun 2017
tentang GERMAS) bertujuan untuk menghindarkan terjadinya penurunan
produktivitas penduduk sekaligus menurunkan beban pembiayaan pelayanan
kesehatan (sumber: www.depkes.go.id). Nah, beberapa program yang harus semakin digalakkan demi Indonesia sehat dan berkaitan dengan artikel ini adalah manajemen pencegahan stunting dan perlindungan imunisasi.
1. Definisi, Penyebab, dan Ruang Lingkup Stunting
Stunting sebenarnya adalah istilah Bahasa Inggris, jadi harus ditulis miring saat membuat isi artikel, kecuali judul. Nah, istilah stunting kalau diperhatikan lebih sering digunakan di media massa daripada istilah pengerdilan yang merupakan istilah asli Bahasa Indonesia. Tapi, jujur saja, mungkin istilah stunting memang terlihat lebih menjual, enak didengar, dan menarik perhatian daripada istilah pengerdilan😜. Lalu, apa itu stunting? Ketika saya mendengar istilah stunting untuk pertama kalinya, yang terbesit di pikiran saya adalah stuntman (pemeran pengganti), padahal tidak ada kaitannya sama sekali hehe... Ok, jadi Stunting merupakan suatu kondisi abnormal pertumbuhan anak, di mana pertumbuhan anak terhambat di luar kewajaran disebabkan oleh masalah gizi buruk. Tapi, ada juga yang mengatakan penyebab utamanya adalah cacingan, sehingga tubuh tidak bisa menyerap gizi dari makanan yang sebetulnya sudah memenuhi syarat disebut sebagai makanan yang bergizi (sumber: www.antaranews.com). Jadi, sebagian gizi makanan tersebut diserap oleh cacing parasit di dalam tubuh anak tersebut, sehingga tubuh menjadi kekurangan gizi. Lalu, menurut Teddy Hidayat, dokter spesialis kedokteran jiwa Rumah Sakit Melinda-2 Bandung, berpendapat bahwa stunting juga bisa disebabkan oleh gangguan jiwa yang diidap oleh ibu-ibu yang mengalami depresi (sumber: koran Pikiran Rakyat hari Minggu, 16 September 2018). Bagaimana bisa? seorang ibu hamil yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi tentunya akan kesulitan untuk berpikir jernih, mencari, dan mendapatkan informasi yang baik, lalu melakukan tindakan terbaik demi kesehatan ibu serta janin yang dikandungnya, bahkan sampai anak sudah lahir. Dengan kata lain, seorang ibu hamil yang depresi akan bermasalah dalam melakukan pengasuhan (parenting). Untuk mengatasinya, kuncinya adalah deteksi dini, harus ada kesadaran dari orang-orang terdekat (keluarga) untuk mendeteksi gejala gangguan jiwa sekecil apapun. Jika sudah ada potensi gangguan jiwa, tentunya harus segera dilaporkan dan dibawa ke layanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan terbaik. Penyebab lain juga dipengaruhi oleh sikap, gaya hidup, dan tingkah laku ibu yang dinilai kurang baik, seperti merokok, minum minuman keras, berkata kasar, bertindak sompral, dsb. Sikap buruk tsb secara tidak langsung bisa mempengaruhi pertumbuhan janin.
Stunting biasanya baru terdeteksi saat anak berusia 2 tahun. Padahal gejala stunting bisa terjadi sejak anak dalam kandungan. Berdasarkan penelitian, stunting tidak hanya persoalan pertumbuhan tinggi terhambat semata, tapi juga merembet ke masalah lain, seperti anak mudah sakit, rendahnya prestasi, IQ menurun, bahkan ketika dewasanya memiliki kemungkinan besar untuk menderita penyakit obesitas, jantung, diabetes, dan sebagainya (sumber: kompasiana.com/lbadriyah). Jadi, semua efek berantai itu diawali dari pertumbuhan janin yang terhambat, mengakibatkan organ tubuh lain kena akibatnya juga, sehingga fungsinya pun ikut bermasalah.
Agar lebih jelas, berikut tabel dari WHO tahun 2007 (sumber: https://hellosehat.com) tentang tinggi badan normal manusia pada umumnya. Jika tinggi badan kurang dari itu, maka terindikasi stunting.
Anak Perempuan
Usia(tahun) Tinggi(cm) Usia(tahun) Tinggi(cm)
1 68,9 10 125,8
1. Definisi, Penyebab, dan Ruang Lingkup Stunting
Stunting sebenarnya adalah istilah Bahasa Inggris, jadi harus ditulis miring saat membuat isi artikel, kecuali judul. Nah, istilah stunting kalau diperhatikan lebih sering digunakan di media massa daripada istilah pengerdilan yang merupakan istilah asli Bahasa Indonesia. Tapi, jujur saja, mungkin istilah stunting memang terlihat lebih menjual, enak didengar, dan menarik perhatian daripada istilah pengerdilan😜. Lalu, apa itu stunting? Ketika saya mendengar istilah stunting untuk pertama kalinya, yang terbesit di pikiran saya adalah stuntman (pemeran pengganti), padahal tidak ada kaitannya sama sekali hehe... Ok, jadi Stunting merupakan suatu kondisi abnormal pertumbuhan anak, di mana pertumbuhan anak terhambat di luar kewajaran disebabkan oleh masalah gizi buruk. Tapi, ada juga yang mengatakan penyebab utamanya adalah cacingan, sehingga tubuh tidak bisa menyerap gizi dari makanan yang sebetulnya sudah memenuhi syarat disebut sebagai makanan yang bergizi (sumber: www.antaranews.com). Jadi, sebagian gizi makanan tersebut diserap oleh cacing parasit di dalam tubuh anak tersebut, sehingga tubuh menjadi kekurangan gizi. Lalu, menurut Teddy Hidayat, dokter spesialis kedokteran jiwa Rumah Sakit Melinda-2 Bandung, berpendapat bahwa stunting juga bisa disebabkan oleh gangguan jiwa yang diidap oleh ibu-ibu yang mengalami depresi (sumber: koran Pikiran Rakyat hari Minggu, 16 September 2018). Bagaimana bisa? seorang ibu hamil yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi tentunya akan kesulitan untuk berpikir jernih, mencari, dan mendapatkan informasi yang baik, lalu melakukan tindakan terbaik demi kesehatan ibu serta janin yang dikandungnya, bahkan sampai anak sudah lahir. Dengan kata lain, seorang ibu hamil yang depresi akan bermasalah dalam melakukan pengasuhan (parenting). Untuk mengatasinya, kuncinya adalah deteksi dini, harus ada kesadaran dari orang-orang terdekat (keluarga) untuk mendeteksi gejala gangguan jiwa sekecil apapun. Jika sudah ada potensi gangguan jiwa, tentunya harus segera dilaporkan dan dibawa ke layanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan terbaik. Penyebab lain juga dipengaruhi oleh sikap, gaya hidup, dan tingkah laku ibu yang dinilai kurang baik, seperti merokok, minum minuman keras, berkata kasar, bertindak sompral, dsb. Sikap buruk tsb secara tidak langsung bisa mempengaruhi pertumbuhan janin.
Sumber: sehatnegeriku.kemkes.go.id |
Agar lebih jelas, berikut tabel dari WHO tahun 2007 (sumber: https://hellosehat.com) tentang tinggi badan normal manusia pada umumnya. Jika tinggi badan kurang dari itu, maka terindikasi stunting.
Anak Perempuan
Usia(tahun) Tinggi(cm) Usia(tahun) Tinggi(cm)
1 68,9 10 125,8
2 80 11 131,7
3 87,4 12 137,6
4 94,1 13 142,5
5 100,1 14 145,9
6 104,9 15 147,9
7 109,9 16 148,9
8 115 17 149,5
9 120,3 18 149,8
Anak laki-laki
Usia(tahun) Tinggi(cm) Usia(tahun) Tinggi(cm)
1 71 10 125
2 81 11 129,7
3 88,7 12 134,9
4 94,9 13 141,2
5 100,7 14 147,8
6 106,1 15 153,4
7 112,2 16 157,4
8 116 17 159,9
9 120,5 18 161,2
2. Sering Tertukar antara Stunting, Dwarfisme, dan Kretinisme
Ketiga istilah tersebut kalau diterjemahkan secara bahasa sama-sama berarti kerdil. Yang membedakan adalah faktor penyebab. Menurut Prof. dr. Dodik Briawan, MCN, jika stunting disebabkan oleh kekurangan gizi si anak sejak dalam kandungan, maka dwarfisme (disebut cebol) diakibatkan oleh gangguan hormon pertumbuhan dan genetik (sumber: www.haibunda.com). Sedangkan kretinisme terjadi akibat gangguan hormon tiroid. Hal ini terjadi karena tubuh kekurangan yodium (sumber: qeeyaaulia.blogspot.com). Biasanya hal tersebut diawali kesalahan sang ibu saat hamil karena kurang memperhatikan nutrisi untuk dirinya sendiri, lalu berpengaruh ke pertumbuhan anaknya.
Stunting, dwarfisme, dan kretinisme kalau dianalogikan seperti halnya istilah gigantisme dengan pertumbuhan tinggi badan atlet basket NBA misalnya. Walaupun keduanya sama-sama mengarah kepada tinggi badan di atas rata-rata dan berpostur raksasa (tinggi 2 meter ke atas), gigantisme terjadi akibat kelainan genetik (penyakit yang bisa mengganggu kesehatan bahkan mengancam nyawa), sedangkan tinggi di atas rata-rata pebasket justru sehat dan terjadi akibat genetik olahragawan lalu dilatih dengan latihan yang khusus, dibantu nutrisi yang tepat, istirahat yang cukup, dan sebagainya. Jadi, tinggi di atas rata-rata seorang pebasket justru sangat dianjurkan dan gerakan fisiknya sangat lentur, berbeda dengan gigantisme yang serba kaku dan tidak proporsional. Tapi ada juga lho seseorang yang mengidap gigantisme tapi sekaligus berjaya sebagai pebasket NBA, misalnya pebasket terkenal asal Tiongkok Yao Ming yang berpostur 2,29 meter. Kurang lebih seperti itu analoginya. Jadi, intinya serupa tapi tak sama, tergantung faktor penyebabnya.
3. Status Gizi Buruk Akibat Stunting
WHO (World Health Organization), koordinator kesehatan umum internasional, menetapkan batas toleransi stunting maksimal 20%. Sementara di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6%. Dari 35,6% tersebut, sebanyak 18,5% kategori sangat pendek dan 17,1% kategori pendek. Ini juga yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk (sumber: REPUBLIKA.CO.ID, Rabu 5 September 2018). Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi? Setelah saya coba search ke beberapa artikel, jawabannya hampir sama, penyebab utamanya adalah masalah ekonomi (kemiskinan). Ya, itu tugas pemerintah untuk lebih serius mengatasi hal tersebut.
5 100,1 14 145,9
6 104,9 15 147,9
7 109,9 16 148,9
8 115 17 149,5
9 120,3 18 149,8
Anak laki-laki
Usia(tahun) Tinggi(cm) Usia(tahun) Tinggi(cm)
1 71 10 125
2 81 11 129,7
3 88,7 12 134,9
4 94,9 13 141,2
5 100,7 14 147,8
6 106,1 15 153,4
7 112,2 16 157,4
8 116 17 159,9
9 120,5 18 161,2
Sumber: mommiesdaily.com |
2. Sering Tertukar antara Stunting, Dwarfisme, dan Kretinisme
Ketiga istilah tersebut kalau diterjemahkan secara bahasa sama-sama berarti kerdil. Yang membedakan adalah faktor penyebab. Menurut Prof. dr. Dodik Briawan, MCN, jika stunting disebabkan oleh kekurangan gizi si anak sejak dalam kandungan, maka dwarfisme (disebut cebol) diakibatkan oleh gangguan hormon pertumbuhan dan genetik (sumber: www.haibunda.com). Sedangkan kretinisme terjadi akibat gangguan hormon tiroid. Hal ini terjadi karena tubuh kekurangan yodium (sumber: qeeyaaulia.blogspot.com). Biasanya hal tersebut diawali kesalahan sang ibu saat hamil karena kurang memperhatikan nutrisi untuk dirinya sendiri, lalu berpengaruh ke pertumbuhan anaknya.
Stunting, dwarfisme, dan kretinisme kalau dianalogikan seperti halnya istilah gigantisme dengan pertumbuhan tinggi badan atlet basket NBA misalnya. Walaupun keduanya sama-sama mengarah kepada tinggi badan di atas rata-rata dan berpostur raksasa (tinggi 2 meter ke atas), gigantisme terjadi akibat kelainan genetik (penyakit yang bisa mengganggu kesehatan bahkan mengancam nyawa), sedangkan tinggi di atas rata-rata pebasket justru sehat dan terjadi akibat genetik olahragawan lalu dilatih dengan latihan yang khusus, dibantu nutrisi yang tepat, istirahat yang cukup, dan sebagainya. Jadi, tinggi di atas rata-rata seorang pebasket justru sangat dianjurkan dan gerakan fisiknya sangat lentur, berbeda dengan gigantisme yang serba kaku dan tidak proporsional. Tapi ada juga lho seseorang yang mengidap gigantisme tapi sekaligus berjaya sebagai pebasket NBA, misalnya pebasket terkenal asal Tiongkok Yao Ming yang berpostur 2,29 meter. Kurang lebih seperti itu analoginya. Jadi, intinya serupa tapi tak sama, tergantung faktor penyebabnya.
3. Status Gizi Buruk Akibat Stunting
WHO (World Health Organization), koordinator kesehatan umum internasional, menetapkan batas toleransi stunting maksimal 20%. Sementara di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6%. Dari 35,6% tersebut, sebanyak 18,5% kategori sangat pendek dan 17,1% kategori pendek. Ini juga yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk (sumber: REPUBLIKA.CO.ID, Rabu 5 September 2018). Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi? Setelah saya coba search ke beberapa artikel, jawabannya hampir sama, penyebab utamanya adalah masalah ekonomi (kemiskinan). Ya, itu tugas pemerintah untuk lebih serius mengatasi hal tersebut.
4. Manajemen Pencegahan Kasus Stunting
Manajemen merupakan kegiatan untuk mengelola dan mengatur sesuatu demi mencapai tujuan yang diinginkan dan disepakati. Nah, kasus Stunting perlu dicegah sedini mungkin dengan manajemen yang baik agar pertumbuhan anak normal dan sehat. Jika pertumbuhan tidak normal akibat kurang gizi, dikhawatirkan akan merembet ke masalah lainnya, misal penurunan IQ, mudah terserang penyakit, lemahnya sistem imunitas tubuh, bahkan berkaitan dengan psikologis juga (rendah diri).
Pemerintah menyerukan dimulainya Kampanye Nasional Pencegahan Stunting. Seruan ini dilakukan di Monumen Nasional pada Minggu
pag, 16 September 2018. Deklarasi ini menjadi titik awal penyadaran masyarakat mengenai bahaya
stunting dan bagaimana upaya pencegahannya. Melalui upaya ini,
diharapkan prevalensi/kelaziman stunting bisa diturunkan dari 37,2% (2013) menjadi
28% (2019). Tentunya harus dilakukan secara bertahap. (sumber: sehatnegeriku.kemkes.go.id).
Manajemen pencegahan kasus Stunting sejak dini:
Saat ibu hamil:
a. Begitu sang ibu sudah "divonis" hamil oleh dokter, maka tanggung jawab ibu menjadi dobel, yaitu bertanggung jawab terhadap kesehatan diri sendiri berikut janin yang dikandungnya. Dalam hal ini, setiap makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh harus diperhatikan kandungan gizinya. Biasanya, diperlukan suplemen tambahan (terutama zat besi untuk pertumbuhan janin) dan susu khusus ibu hamil agar kesehatan ibu dan janin optimal (sumber: www.ibudanbalita.com). Intinya, jangan sampai ibu hamil mengalami kondisi anemia (kekurangan darah).
b. Cek kesehatan ibu hamil secara rutin ke dokter kandungan untuk memastikan kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya. Sekalipun ada gangguan kesehatan akan terdeteksi sejak dini dan tidak akan mengganggu pertumbuhan janin.
c. Perbaiki gaya hidup, tidak sebatas asupan makanan dan minuman saja, tetapi juga attitude. Hindari perilaku yang bisa berdampak buruk bagi janin, seperti merokok, minum minuman alkohol, narkoba, begadang, bertindak sompral, berbicara sembarangan, dan sebagainya. Dalam kondisi hamil, perbanyak ibadah, amal kebaikan, berbagi, olahraga yang sesuai proporsi, dan sebagainya. Percayalah, setiap energi positif dari sang ibu akan menular kepada janin yang dikandungnya, begitupun sebaliknya.
d. Kondisi lingkungan harus steril. Ini yang terkadang sering terlupakan. Lingkungan di mana si ibu tinggal harus diperhatikan kebersihannya. Jangan sampai, lingkungan yang tidak steril mengakibatkan daya tahan ibu melemah, lalu si ibu terinfeksi dan hal tersebut dikhawatirkan menular kepada janin yang dikandungnya.
e. Riwayat kesehatan orang terdekat. Di samping kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya, harus diperhatikan juga riwayat kesehatan orang terdekat yang sering bersama sang ibu, seperti suami, anak (yang sudah lahir), orangtua, mertua, tetangga, asisten rumah tangga, dan sebagainya. Karena, bukan tidak mungkin si ibu sebetulnya sudah dalam keadaan sehat, tapi tiba-tiba sakit mendadak akibat tertular penyakit menular dari orang terdekat dan dikhawatirkan mempengaruhi pertumbuhan janin.
f. Deteksi dini jika terkena gangguan jiwa. Masalah gangguan jiwa tidak boleh dianggap sepele. Jika seorang ibu hamil sudah mengalami gangguan jiwa seperti stres dan depresi, dikhawatirkan akan berdampak pada janinnya (termasuk kemungkinan stunting). Tidak hanya itu, seorang ibu hamil akan kesulitan bertindak demi kesehatan ibu dan janinnya akibat pikiran sedang kacau. Jadi, kuncinya adalah deteksi dini dari orang-orang terdekatnya, segera lapor ke pihak berwenang, serta bawa si pengidap gangguan jiwa ke layanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan terbaik. Jangan sampai baru datang saat kondisi sudah parah, sehingga penangangannya pun akan jauh lebih sulit.
Saat dan setelah ibu melahirkan:
a. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif bagi bayi memiliki manfaat yang sangat besar, mulai dari untuk mencegah stunting, tingkat IQ yang lebih tinggi, kelak mendapatkan penghasilan yang lebih baik, dan terhindar dari penyakit ganas seperti kanker (sumber: rona.metrotvnews.com dengan narasumber dr. Utami Roesli). Hal yang perlu diperhatikan, jika pertumbuhan otak terganggu, kurang nutrisinya, maka bayi tidak akan tumbuh sempurna. Jadi, bukan hanya berkaitan kecerdasan semata. Begitu besar manfaat pemberian ASI eksklusif bagi generasi penerus bangsa sehingga perlu diatur dalam UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan dan diperkuat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, sehingga jelas di situ kepastian hukumnya, bahkan ada sanksi jika pemberian ASI eksklusif dilanggar maupun dihalangi. Pemberian ASI eksklusif harus sejak bayi lahir sampai 6 bulan secara penuh. Mengapa harus 6 bulan? Menurut WHO itu untuk kesehatan optimal dan mencegah alergi. Bagi sang ibu juga ada manfaatnya, yaitu mencegah hamil dini dan kerapuhan tulang (sumber: https://health.detik.com). Menurut dr. Kartika Mayasari, pemberian ASI merupakan bagian dari imunisasi, tetapi imunisasi pasif.
Manajemen pencegahan kasus Stunting sejak dini:
Saat ibu hamil:
a. Begitu sang ibu sudah "divonis" hamil oleh dokter, maka tanggung jawab ibu menjadi dobel, yaitu bertanggung jawab terhadap kesehatan diri sendiri berikut janin yang dikandungnya. Dalam hal ini, setiap makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh harus diperhatikan kandungan gizinya. Biasanya, diperlukan suplemen tambahan (terutama zat besi untuk pertumbuhan janin) dan susu khusus ibu hamil agar kesehatan ibu dan janin optimal (sumber: www.ibudanbalita.com). Intinya, jangan sampai ibu hamil mengalami kondisi anemia (kekurangan darah).
b. Cek kesehatan ibu hamil secara rutin ke dokter kandungan untuk memastikan kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya. Sekalipun ada gangguan kesehatan akan terdeteksi sejak dini dan tidak akan mengganggu pertumbuhan janin.
c. Perbaiki gaya hidup, tidak sebatas asupan makanan dan minuman saja, tetapi juga attitude. Hindari perilaku yang bisa berdampak buruk bagi janin, seperti merokok, minum minuman alkohol, narkoba, begadang, bertindak sompral, berbicara sembarangan, dan sebagainya. Dalam kondisi hamil, perbanyak ibadah, amal kebaikan, berbagi, olahraga yang sesuai proporsi, dan sebagainya. Percayalah, setiap energi positif dari sang ibu akan menular kepada janin yang dikandungnya, begitupun sebaliknya.
Contoh Adab saat Hamil. Sebenarnya Adab tersebut tidak hanya Saat Hamil saja, tapi Setiap Saat😜. Sumber: pinterest.com. *Mazmumah: Tingkah Laku yang Buruk. |
d. Kondisi lingkungan harus steril. Ini yang terkadang sering terlupakan. Lingkungan di mana si ibu tinggal harus diperhatikan kebersihannya. Jangan sampai, lingkungan yang tidak steril mengakibatkan daya tahan ibu melemah, lalu si ibu terinfeksi dan hal tersebut dikhawatirkan menular kepada janin yang dikandungnya.
e. Riwayat kesehatan orang terdekat. Di samping kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya, harus diperhatikan juga riwayat kesehatan orang terdekat yang sering bersama sang ibu, seperti suami, anak (yang sudah lahir), orangtua, mertua, tetangga, asisten rumah tangga, dan sebagainya. Karena, bukan tidak mungkin si ibu sebetulnya sudah dalam keadaan sehat, tapi tiba-tiba sakit mendadak akibat tertular penyakit menular dari orang terdekat dan dikhawatirkan mempengaruhi pertumbuhan janin.
f. Deteksi dini jika terkena gangguan jiwa. Masalah gangguan jiwa tidak boleh dianggap sepele. Jika seorang ibu hamil sudah mengalami gangguan jiwa seperti stres dan depresi, dikhawatirkan akan berdampak pada janinnya (termasuk kemungkinan stunting). Tidak hanya itu, seorang ibu hamil akan kesulitan bertindak demi kesehatan ibu dan janinnya akibat pikiran sedang kacau. Jadi, kuncinya adalah deteksi dini dari orang-orang terdekatnya, segera lapor ke pihak berwenang, serta bawa si pengidap gangguan jiwa ke layanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan terbaik. Jangan sampai baru datang saat kondisi sudah parah, sehingga penangangannya pun akan jauh lebih sulit.
Saat dan setelah ibu melahirkan:
a. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif bagi bayi memiliki manfaat yang sangat besar, mulai dari untuk mencegah stunting, tingkat IQ yang lebih tinggi, kelak mendapatkan penghasilan yang lebih baik, dan terhindar dari penyakit ganas seperti kanker (sumber: rona.metrotvnews.com dengan narasumber dr. Utami Roesli). Hal yang perlu diperhatikan, jika pertumbuhan otak terganggu, kurang nutrisinya, maka bayi tidak akan tumbuh sempurna. Jadi, bukan hanya berkaitan kecerdasan semata. Begitu besar manfaat pemberian ASI eksklusif bagi generasi penerus bangsa sehingga perlu diatur dalam UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan dan diperkuat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, sehingga jelas di situ kepastian hukumnya, bahkan ada sanksi jika pemberian ASI eksklusif dilanggar maupun dihalangi. Pemberian ASI eksklusif harus sejak bayi lahir sampai 6 bulan secara penuh. Mengapa harus 6 bulan? Menurut WHO itu untuk kesehatan optimal dan mencegah alergi. Bagi sang ibu juga ada manfaatnya, yaitu mencegah hamil dini dan kerapuhan tulang (sumber: https://health.detik.com). Menurut dr. Kartika Mayasari, pemberian ASI merupakan bagian dari imunisasi, tetapi imunisasi pasif.
Pencegahan Stunting Harus Sejak Dini. Sumber: Sehatnegeriku.kemkes.go.id |
c. Perhatikan nutrisi bagi si anak, agar tumbuh optimal, sehat, bugar, bersemangat, dan berprestasi. Diupdate 16 Oktober 2016, hindari makanan kemasan, berpengawet, penuh dengab pewarna buatan, rendah gizi (junk food), serta begitupun juga minumannya, hindari minuman yang terlalu manis, soft drink, dan penuh pewarna buatan.
d. Arahkan anak untuk senang berolahraga, terutama olahraga yang bisa meningkatkan pertumbuhan si anak secara optimal, tentunya disertai asupan kalsium yang tepat. Misal: renang, skipping, basket, taekwondo, voli, dan sebagainya.
5. Manajemen Perlindungan ImunisasiOlahraga juga Bermanfaat agar Pertumbuhan Badan Lebih Optimal dan Mencegah Stunting. Sumber: Instagram Kemenkes RI (@kemenkes_ri) |
Imunisasi (disebut juga vaksinasi) merupakan pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit tersebut (sumber: wikipedia). Tapi, ada juga yang mengatakan justru vaksinasi yang merupakan bagian dari imunisasi, tepatnya imunisasi aktif. Sedangkan imunisasi pasif terjadi secara alamiah seperti pemberian ASI eksklusif (sumber: www.klikdokter.com). Perlindungan imunisasi merupakan upaya melindungi seseorang dari risiko berbagai macam penyakit (termasuk stunting) melalui program imunisasi yang tepat. Dengan imunisasi, daya tahan tubuh seseorang diharapkan lebih kuat dan tidak mudah terserang penyakit. Dengan kata lain, imunisasi dapat menurunkan risiko terkena penyakit.
Imunisasi itu merupakan hak anak yang wajib dipenuhi dan dilindungi hukum, sehingga jika dilanggar akan mendapatkan sanksi pidana. Dasar hukum tertinggi dimulai dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan turunannya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Kesehatan. Intinya sama, semua aturan tersebut mengatur tentang hak dan kewajiban yang berkaitan dengan perlindungan kesehatan.
Manajemen program perlindungan imunisasi yang diperkenalkan oleh Kemenkes adalah imunisasi rutin lengkap yang terdiri dari imunisasi dasar dan lanjutan.
a. Imunisasi dasar merupakan imunisasi yang diberikan pada bayi di bawah usia 1 tahun. Imunisasi dasar meliputi Bacillus Calmette Guerin (BCG), Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB), Hepatitis B pada bayi baru lahir, Polio, dan Campak. Imunisasi dasar saja tidak cukup, tapi diperlukan juga imunisasi lanjutan untuk mempertahankan tingkat kekebalan yang optimal (sumber: www.depkes.go.id)
b. Imunisasi lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi lanjutan diberikan kepada bayi di bawah usia 3 tahun/batita, anak usia sekolah dasar, dan wanita usia subur (sumber: www.klikdokter.com). Bahkan, selain imunisasi dasar dan lanjutan, dokter Kartika Mayasari menambahkan imunisasi tambahan dan imunisasi khusus. Imunisasi tambahan diberikan pada kelompok usia tertentu yang paling berisiko terkena penyakit. Sedangkan imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilakukan untuk melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. Misalnya pada persiapan keberangkatan calon jemaah haji atau umroh, persiapan perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu, dan kondisi kejadian luar biasa.
Manajemen program perlindungan imunisasi yang diperkenalkan oleh Kemenkes adalah imunisasi rutin lengkap yang terdiri dari imunisasi dasar dan lanjutan.
a. Imunisasi dasar merupakan imunisasi yang diberikan pada bayi di bawah usia 1 tahun. Imunisasi dasar meliputi Bacillus Calmette Guerin (BCG), Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB), Hepatitis B pada bayi baru lahir, Polio, dan Campak. Imunisasi dasar saja tidak cukup, tapi diperlukan juga imunisasi lanjutan untuk mempertahankan tingkat kekebalan yang optimal (sumber: www.depkes.go.id)
b. Imunisasi lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi lanjutan diberikan kepada bayi di bawah usia 3 tahun/batita, anak usia sekolah dasar, dan wanita usia subur (sumber: www.klikdokter.com). Bahkan, selain imunisasi dasar dan lanjutan, dokter Kartika Mayasari menambahkan imunisasi tambahan dan imunisasi khusus. Imunisasi tambahan diberikan pada kelompok usia tertentu yang paling berisiko terkena penyakit. Sedangkan imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilakukan untuk melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. Misalnya pada persiapan keberangkatan calon jemaah haji atau umroh, persiapan perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu, dan kondisi kejadian luar biasa.
Walaupun sudah dilindungi hukum, program imunisasi masih saja mendapat penolakan seperti yang terjadi di Aceh. Alasannya, imunisasi campak dan Rubella (Measles dan Rubella/populer disingkat MR) diragukan kehalalannya dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun terkesan lambat dalam mengeluarkan fatwa halal atau tidaknya imunisasi MR, sehingga menimbulkan pro dan kontra, bahkan memberi peluang munculnya berita hoaks. Tentunya jika kasusnya seperti ini, ke depannya sudah sepatutnya Kemenkes RI tidak menjalankan program imunisasi (khususnya imunisasi MR) sendirian. Libatkan MUI dan pihak berwenang lainnya sebelum program dilaksanakan. Bahkan, libatkan mereka juga untuk merevisi aturan hukum yang berkaitan dengan imunisasi ini. Jangan sampai biaya tinggi untuk program tersebut menjadi mubazir akibat mendapat penolakan dari masyarakat. Terkadang niat baik, caranya baik, tapi akar masalahnya tidak diperhatikan justru menjadi sumber penolakan, bahkan bisa merembet ke mana-mana. Itu yang terjadi di negara kita.
Kesimpulan dari artikel ini: salah satu upaya untuk mencapai Indonesia sehat di antaranya adalah manajemen pencegahan kasus stunting sedini mungkin, dimulai sejak ibu hamil sampai setelah melahirkan. Stunting bukan hanya disebabkan masalah gizi buruk saja, tetapi bisa juga disebabkan oleh gaya hidup yang salah dari ibu hamil (merokok, minum minuman keras, dan sebagainya), penyakit cacingan pada anak, lingkungan yang tidak steril, dan bahkan gangguan jiwa. Manajemen pencegahan stunting dilakukan dengan cek kesehatan secara menyeluruh dan rutin, pemberian ASI dan nutrisi yang lengkap, menjaga kebersihan lingkungan, olahraga yang tepat, serta manajemen perlindungan imunisasi. Dengan program imunisasi yang tepat dan halal tentunya, maka daya tahan si anak akan lebih kuat dan dari segi agama pun sangat dianjurkan karena sebagai upaya untuk menjaga kesehatan tapi tetap sesuai syariat. Jika daya tahan si anak kuat, maka risiko terkena berbagai macam penyakit (termasuk stunting) menjadi rendah.
Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english) dan ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:
Blog 2: healthyhumanityvicagi.blogspot.comKe Depannya tidak Boleh Ada Lagi Kesimpangsiuran Mengenai Halal atau Haramnya Imunisasi. Jangankan Haram, Syubhat (Perkara Meragukan) pun tak Boleh. Sumber: muslimafiyah.com |
Kesimpulan dari artikel ini: salah satu upaya untuk mencapai Indonesia sehat di antaranya adalah manajemen pencegahan kasus stunting sedini mungkin, dimulai sejak ibu hamil sampai setelah melahirkan. Stunting bukan hanya disebabkan masalah gizi buruk saja, tetapi bisa juga disebabkan oleh gaya hidup yang salah dari ibu hamil (merokok, minum minuman keras, dan sebagainya), penyakit cacingan pada anak, lingkungan yang tidak steril, dan bahkan gangguan jiwa. Manajemen pencegahan stunting dilakukan dengan cek kesehatan secara menyeluruh dan rutin, pemberian ASI dan nutrisi yang lengkap, menjaga kebersihan lingkungan, olahraga yang tepat, serta manajemen perlindungan imunisasi. Dengan program imunisasi yang tepat dan halal tentunya, maka daya tahan si anak akan lebih kuat dan dari segi agama pun sangat dianjurkan karena sebagai upaya untuk menjaga kesehatan tapi tetap sesuai syariat. Jika daya tahan si anak kuat, maka risiko terkena berbagai macam penyakit (termasuk stunting) menjadi rendah.
Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english) dan ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:
Blog 3: listrikvic.blogspot.com
Info yg berbobot, sdh spt karya ilmiah sj😁
BalasHapusKarya ilmiah dg bhs yg lbh santai n kekinian hehe.. Thx
BalasHapus🙂
Hapus👍
BalasHapusMantul kang
BalasHapusHtr nuhun :)
BalasHapus