Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana gempa bumi yang tinggi. Bahkan di sebagian wilayah Indonesia harus menghadapi potensi terjadinya gempa sekaligus tsunami juga. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua
Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian
selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik yang
memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, yang
sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian
didominasi oleh rawa-rawa. Istilah tersebut sering kita dengar di media massa dengan istilah Ring of Fire (Cincin Api Pasifik). Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus
rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir
dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah
satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih
dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986, dikutip dari www.bnbp.go.id).
Dua gempa bumi terakhir di Indonesia terjadi di Lombok (Agustus 2018), lalu di Palu, Sigi, dan Donggala (September 2018). Pertanyaannya: mengapa korban jiwa gempa di daerah tersebut begitu banyak disertai bangunan yang mudah ambruk dan tidak didesain tahan gempa? Bandingkan dengan gempa/tsunami dengan kekuatan dan karakter sejenis di negara lain. Mengapa pendeteksi tsunami di Palu banyak yang rusak? Itu akibat manajemen mitigasi bencananya (baik fisik maupun sosial) masih kurang dan belum menyeluruh (Djwantoro Hardjiito, dosen Progam Studi Teknik Sipil Universitas Kristen Petra Surabaya, dikutip dari koran Kompas 27 Oktober 2018). Lalu, mengapa tsunami di Palu bisa jauh lebih cepat (8 menit stlh gempa) dari tsunami di Aceh 2004 (30 menit stlh gempa)? Ternyata Palu merupakan teluk yang lebih sempit dan dangkal dibanding Aceh (sumber: Badan Informasi Geospasial). Edukasi tentang bencana seperti ini (bagian dari mitigasi bencana juga) yang masih kurang. Nah, dengan risiko seperti itu, seharusnya kita sebagai warga negara yang baik (bukan hanya tugas pemerintah semata) wajib menyadari hal itu dan memiliki pemahaman yang baik tentang mitigasi bencana. Kalau hanya mengandalkan pemerintah jelas masih kurang, butuh kesadaran individu yang kuat juga.
Pengertian mitigasi bencana sendiri menurut pasal 1 Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sedangkan, mitigasi bencana harus dikelola dengan baik melalui prosedur yang jelas dan terpadu, agar semua orang memiliki persepsi yang sama, sehingga perlu adanya manajemen mitigasi bencana. Hal tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dan juga masyarakat terdampak, tidak bisa sepihak. Manajemen mitigasi bencana diawali dengan tindakan preventif (mencegah dari risiko yang lebih besar dan korban jiwa yang lebih banyak) dan represif (tindakan tegas saat dan setelah terjadinya bencana).
A. Tahap Preventif:
1. Mengetahui zona rawan gempa, terutama di daerah sekitar tempat tinggal kita, mengingat gempa tidak dapat diprediksi, jadi harus waspada setiap saat. Sejauh yang saya ketahui di Pulau Jawa saja:
- Di kawasan Lembang, Bandung, & sekitarnya ada Patahan Lembang yang masih aktif, sedang "tertidur" seperti menyimpan kekuatan, dan sewaktu-waktu bisa "bangun" dengan mengeluarkan kekuatan yang dahsyat,
- Di Jakarta ada potensi gempa juga berpusat di Selat Sunda dan ada Sesar Bribis
- Di Sukabumi ada Sesar Cimandiri
- Di Bantul dan Yogya ada Sesar Opak
- Di Situbondo ada Sesar Kambing (karena ada bentangan sesar melewati Pulau Kambing (di sekitar Madura), bukan akibat siluman kambing muncul dari dasar bumi mengamuk😜
- Dan masih banyak lagi, belum lagi yang di luar Pulau Jawa seperti Sesar Indonesia-Australia (penyebab gempa tsunami dahsyat di Aceh 2004), Sesar Belakang Busur Flores di utara kepulauan Nusa Tenggara, Sesar Palu-Koro di Sulawesi Tengah, Sesar Tairura-Aiduna Papua, Sesar Sorong Papua, dan masih banyak lagi. Itupun masih banyak yang belum diteliti, jadi harus selalu meng-upgrade ilmu dan update info, tentunya dengan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan.
Di-update 4 Januari 2019: Jumlah sesar bertambah dan ditemukan setelah diteliti. Menurut Kepala Sub-bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi, Ahmad Solihin, Di pulau Jawa pada tahun 2010 dipublikasikan baru 4 patahan saja, sementara tahun 2017 meningkat menjadi 34 patahan. Di Indonesia pada tahun 2010 terdapat 81 sesar, sedangkan tahun 2018 meningkat menjadi 295 sesar. Patahan yang ditemukan berada di Pulau Jawa meliputi: Lembang-Baribis, Bumi Ayu, Semarang, dan Yogyakarta. Untuk wilayah Bandung, Padalarang, dan Purwakarta ada 6 patahan aktif, meliputi: Baribis, Cisomang, Walini, Citarum, Rajamandala, dan Lembang (sumber: Koran Pikiran Rakyat 14 Januari 2019). Itupun masih harus diteliti lebih dalam, mengingat kemungkinan jumlah patahan baru masih terbuka.
Di-update 15 Maret 2019:
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik R. Daryono mengatakan bahwa Sesar Lembang membentang 29 km dari Lembang, Parongpong, Cisarua, Ngamprah, hingga Padalarang bisa menghasilkan gempa bumi bermagnitudo 6,5 hingga 7. Namun, hal itu tidak perlu ditakuti secara berlebihan, tapi tetap harus diwaspadai dan dipersiapkan segala sesuatunya. Sosialisasi dari pemerintah setempat harus semakin digalakkan. Berdasarkan hasil penelitiannya (bersama tim peneliti), siklus gempa bumi Sesar Lembang bisa berulang terjadi setiap 170-670 tahun. Sementara, dalam kurun waktu 560 tahun terakhir, belum pernah terjadi gempa bumi lagi di jalur Sesar Lembang (sumber: Koran Pikiran Rakyat 15 Maret 2019).
Ada sisa sekitar 110 tahun lagi, tapi itu tidak bisa diprediksi scr akurat dan hanya Allah Swt yang tahu, bisa saja gempa bumi (akbt Sesar Lembang) terjadi 100 tahun lagi, 10 tahun lagi, 1 tahun lagi, atau malah besok, kita tidak akan pernah tahu😱.
2. Mengetahui zona rawan tsunami, terutama bagi yang tinggal di dekat pantai, meliputi: Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Jawa, Pantai Selatan Nusa Tenggara Timur (NTT), Pantai Utara NTT, Pantai Utara Papua, Pantai Timur Menado, Pantai Barat Maluku, Pantai Utara Sulawesi, Toli-Toli, Pantai bagian Barat Sulawesi, dan Kepulauan Ambon (sumber: BMKG, dikutip dari news.okezone.com).
Dua gempa bumi terakhir di Indonesia terjadi di Lombok (Agustus 2018), lalu di Palu, Sigi, dan Donggala (September 2018). Pertanyaannya: mengapa korban jiwa gempa di daerah tersebut begitu banyak disertai bangunan yang mudah ambruk dan tidak didesain tahan gempa? Bandingkan dengan gempa/tsunami dengan kekuatan dan karakter sejenis di negara lain. Mengapa pendeteksi tsunami di Palu banyak yang rusak? Itu akibat manajemen mitigasi bencananya (baik fisik maupun sosial) masih kurang dan belum menyeluruh (Djwantoro Hardjiito, dosen Progam Studi Teknik Sipil Universitas Kristen Petra Surabaya, dikutip dari koran Kompas 27 Oktober 2018). Lalu, mengapa tsunami di Palu bisa jauh lebih cepat (8 menit stlh gempa) dari tsunami di Aceh 2004 (30 menit stlh gempa)? Ternyata Palu merupakan teluk yang lebih sempit dan dangkal dibanding Aceh (sumber: Badan Informasi Geospasial). Edukasi tentang bencana seperti ini (bagian dari mitigasi bencana juga) yang masih kurang. Nah, dengan risiko seperti itu, seharusnya kita sebagai warga negara yang baik (bukan hanya tugas pemerintah semata) wajib menyadari hal itu dan memiliki pemahaman yang baik tentang mitigasi bencana. Kalau hanya mengandalkan pemerintah jelas masih kurang, butuh kesadaran individu yang kuat juga.
Pengertian mitigasi bencana sendiri menurut pasal 1 Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sedangkan, mitigasi bencana harus dikelola dengan baik melalui prosedur yang jelas dan terpadu, agar semua orang memiliki persepsi yang sama, sehingga perlu adanya manajemen mitigasi bencana. Hal tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dan juga masyarakat terdampak, tidak bisa sepihak. Manajemen mitigasi bencana diawali dengan tindakan preventif (mencegah dari risiko yang lebih besar dan korban jiwa yang lebih banyak) dan represif (tindakan tegas saat dan setelah terjadinya bencana).
A. Tahap Preventif:
1. Mengetahui zona rawan gempa, terutama di daerah sekitar tempat tinggal kita, mengingat gempa tidak dapat diprediksi, jadi harus waspada setiap saat. Sejauh yang saya ketahui di Pulau Jawa saja:
- Di kawasan Lembang, Bandung, & sekitarnya ada Patahan Lembang yang masih aktif, sedang "tertidur" seperti menyimpan kekuatan, dan sewaktu-waktu bisa "bangun" dengan mengeluarkan kekuatan yang dahsyat,
- Di Jakarta ada potensi gempa juga berpusat di Selat Sunda dan ada Sesar Bribis
- Di Sukabumi ada Sesar Cimandiri
- Di Bantul dan Yogya ada Sesar Opak
- Di Situbondo ada Sesar Kambing (karena ada bentangan sesar melewati Pulau Kambing (di sekitar Madura), bukan akibat siluman kambing muncul dari dasar bumi mengamuk😜
- Dan masih banyak lagi, belum lagi yang di luar Pulau Jawa seperti Sesar Indonesia-Australia (penyebab gempa tsunami dahsyat di Aceh 2004), Sesar Belakang Busur Flores di utara kepulauan Nusa Tenggara, Sesar Palu-Koro di Sulawesi Tengah, Sesar Tairura-Aiduna Papua, Sesar Sorong Papua, dan masih banyak lagi. Itupun masih banyak yang belum diteliti, jadi harus selalu meng-upgrade ilmu dan update info, tentunya dengan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan.
Di-update 4 Januari 2019: Jumlah sesar bertambah dan ditemukan setelah diteliti. Menurut Kepala Sub-bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi, Ahmad Solihin, Di pulau Jawa pada tahun 2010 dipublikasikan baru 4 patahan saja, sementara tahun 2017 meningkat menjadi 34 patahan. Di Indonesia pada tahun 2010 terdapat 81 sesar, sedangkan tahun 2018 meningkat menjadi 295 sesar. Patahan yang ditemukan berada di Pulau Jawa meliputi: Lembang-Baribis, Bumi Ayu, Semarang, dan Yogyakarta. Untuk wilayah Bandung, Padalarang, dan Purwakarta ada 6 patahan aktif, meliputi: Baribis, Cisomang, Walini, Citarum, Rajamandala, dan Lembang (sumber: Koran Pikiran Rakyat 14 Januari 2019). Itupun masih harus diteliti lebih dalam, mengingat kemungkinan jumlah patahan baru masih terbuka.
Di-update 15 Maret 2019:
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik R. Daryono mengatakan bahwa Sesar Lembang membentang 29 km dari Lembang, Parongpong, Cisarua, Ngamprah, hingga Padalarang bisa menghasilkan gempa bumi bermagnitudo 6,5 hingga 7. Namun, hal itu tidak perlu ditakuti secara berlebihan, tapi tetap harus diwaspadai dan dipersiapkan segala sesuatunya. Sosialisasi dari pemerintah setempat harus semakin digalakkan. Berdasarkan hasil penelitiannya (bersama tim peneliti), siklus gempa bumi Sesar Lembang bisa berulang terjadi setiap 170-670 tahun. Sementara, dalam kurun waktu 560 tahun terakhir, belum pernah terjadi gempa bumi lagi di jalur Sesar Lembang (sumber: Koran Pikiran Rakyat 15 Maret 2019).
Ada sisa sekitar 110 tahun lagi, tapi itu tidak bisa diprediksi scr akurat dan hanya Allah Swt yang tahu, bisa saja gempa bumi (akbt Sesar Lembang) terjadi 100 tahun lagi, 10 tahun lagi, 1 tahun lagi, atau malah besok, kita tidak akan pernah tahu😱.
Sumber: Koran Pikiran Rakyat 15 Maret 2019 |
2. Mengetahui zona rawan tsunami, terutama bagi yang tinggal di dekat pantai, meliputi: Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Jawa, Pantai Selatan Nusa Tenggara Timur (NTT), Pantai Utara NTT, Pantai Utara Papua, Pantai Timur Menado, Pantai Barat Maluku, Pantai Utara Sulawesi, Toli-Toli, Pantai bagian Barat Sulawesi, dan Kepulauan Ambon (sumber: BMKG, dikutip dari news.okezone.com).
3. Pembangunan rumah tahan gempa
Banyaknya bangunan yang ambruk akibat gempa bumi di Palu mengindikasikan sebagian besar bangunan di sana belum didesain untuk tahan gempa. Menurut Dwantoro Hardjito, pemilik bangunan dan tukang yang mengerjakan dapat dipastikan tidak memiliki pengetahuan cukup tentang perilaku material dinding bata dan pengaku beton bertulang (istilah aneh, intinya menurut orang awam mah bangunan tahan gempa lah😜). Masih menurut beliau, akibatnya, bangunan yang dihasilkan hanya kuat memikul beban gravitasi, tapi sangat rentan beban gempa. Teknologinya sudah tersedia, bahkan tanpa tambahan biaya, hanya masalahnya mau belajar dan menggunakan atau tidak. Di sini penyadaran dan pelatihan dari pemerintah kepada masyarakat masih minim. Pemerintah pun dinilai masih setengah2 memberikan izin bangunan tahan gempa, padahal hal tersebut sudah dilakukan pasca gempa Yogyakarta pada tahun 2006.
Upaya pembangunan kembali rumah tahan gempa pasca-gempa terdahulu di Indonesia sdh dilakukan dengan adanya:
- Rumah kubah teletubbies di Yogyakarta (bantuan dari negara lain) yang dapat dibangun dalam waktu 1 hari saja dengan teknologi khusus dari luar negeri
- Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) di Aceh dan Nias (proyek pemerintah) yang diklaim ramah lingkungan dengan waktu pengerjaan 2 hari
- Dan yang terbaru rumah Kopassus (bantuan Kopassus) di Serang, Banten, yang disebut2 berbahan dasar campuran 70% semen dan 30% selulosa, serta memiliki risiko minimal terhadap kebakaran (sumber: www.99.co). Konsep rumah tersebut dapat dibangun dalam jangka waktu 7 hari
Rumah-rumah tahan gempa tersebut pada dasarnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing2, ditawarkan dengan harga kisaran Rp. 40-75 juta per unit (sumber: properti.kompas.com). Tapi, ada juga yang gratis (kerja sama pemerintah dengan Corporate Social Responsibility/CSR swasta dan organisasi tertentu) diperuntukkan bagi warga yang kurang mampu.
4. Pembangunan rumah tahan tsunami
Rumah tahan tsunami yang dibangun di pesisir pantai bisa dikatakan harus lebih kompleks pembangunannya, karena harus tahan tsunami sekaligus menahan gempa bumi dan banjir bandang. Tidak perlu mencari desain dari luar negeri, sejarah membuktikan justru bangunan tradisional Sulawesi Tengah (Palu) yang berbentuk rumah panggung merupakan contoh yang baik untuk pembangunan rumah tahan tsunami. Rumah panggung tsb dibuat dari material kayu terbaik yang terbukti memiliki daya lentur lebih baik daripada material beton. Ikatan balok antar kayu menggunakan pin dan ikatan, sehingga lebih fleksibel terhadap guncangan. Ya, saat gempa bumi dan tsunami di Palu September 2018, banyak rumah panggung yang berdiri kokoh sementara bangunan kiri kanannya luluh lantak. Namun, menurut Rifai Mardin, dosen teknik arsitektur Universitas Tadulako, rumah panggung tersebut memang tahan gempa, tsunami, dan banjir, tapi kemampuannya masih terbatas, yakni:
- Gelombang yang datang tidak setinggi badan bangunan atau di atas 2 meter dari lantai dasar rumah
- Air yang datang tidak membawa debris (tumpukan pecahan batu dan reruntuhan akibat erosi) yang besar
5. Mengetahui zona-zona rentan likuefaksi (bukan likuifaksi), yaitu tanah yang mencair kehilangan kekuatannya akibat kejadian ekstrem seperti gempa. Zona likuefaksi kini masih belum jelas dan penelitiannyan pun masih minim. Kalaupun sudah diketahui, itu akibat didahului gempa bumi dan tsunami di Palu. Zona likuefaksi di Palu tepatnya di daerah Petobo, Balaroa, dan Jono Oge. Zona likuefaksi wajib dijadikan daerah terbuka hijau dan bukan untuk area hunian (sumber: Dwantoro Hardjito). Saat ini, belum ada rumah tahan likuefaksi, jadi dilarang untuk dijadikan tempat tinggal penduduk. Sehebat dan sekokoh apapun bangunan, jika tanah di bawahnya terkena likuefaksi akan hanyut dalam sekejap😱.
6. Pendidikan mitigasi bencana dan menjaga alam di Sekolah Formal
Pemerintah harus memasukkan pendidikan manajemen mitigasi bencana dan menjaga alam ke dalam kurikulum pendidikan dan menjadi bagian dari pendidikan formal, seperti halnya mata pelajaran matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dsb. Menurut saya, selama ini pendidikan di Indonesia terlalu dijejali ilmu sains yang menitikberatkan otak kiri (ini harus dikurangi), dibebani sistem peringkat yg cenderung membanding2kan (di luar peringkat 10 besar dianggap kurang pintar), dan kurang memperhatikan ilmu yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, termasuk pendidikan moral, seni kreatif, dan inovatif. Terlalu dijejali ilmu sains membuat murid mudah stres dan kurang terlihat potensi sesungguhnya. Lihat saja di Jepang, anak-anak sekolah sudah diajarkan ilmunya (dan langsung praktik) bagaimana jika terjadi gempa, bagaimana jika terjadi tsunami, bagaimana sikap menghadapi orang asing, bagaimana menjaga kebersihan, bagaimana bersikap jujur (tidak korupsi), bagaimana membentuk karakter yang kuat, bagaimana bermimpi besar, bagaimana melestarikan budaya lokal, bagaimana menjaga kebersihan, bagaimana melestarikan alam, dsb. Tentunya dibutuhkan keteladanan dan kompetensi juga dari para gurunya. Ini yang di Indonesia masih kurang. Berkaitan dengan alam, ada semacam hubungan timbal balik, jika manusianya senang menjaga alam, maka alamnya pun akan memberikan umpan balik yang positif berupa alam yang indah, tanah yang subur, dan cuaca yang berkah, tapi jika manusianya senang merusak alam, maka alam pun akan protes dengan caranya sendiri dengan adanya bencana besar dan yang jadi korban tidak hanya si perusak alam, tapi juga semua orang yang tinggal di daerah tersebut😱.
Perlu digalakkan juga penanaman pohon mangrove (bakau) terutama di daerah pesisir pantai bukan hanya untuk keseimbangan ekosistem dan penghasil oksigen alami, tapi juga untuk mencegah abrasi/pengikisan pantai, mencegah banjir, pemecah ombak alami, dan terutama menahan laju tsunami. Mengapa harus pohon bakau? karena akarnya yang sangat kuat untuk menahan dan mencegah abrasi pantai, banjir, ombak, dan terutama tsunami. Dalam banyak kasus, hutan bakau melindungi kawasan pesisir dari terjangan badai, angin topan atau tsunami sekalipun. Karena ekosistem ini mampu menyesap air dalam jumlah besar dan dengan begitu mencegah banjir. "Akar dan dahan bakau menahan gelombang air" kata Femke Tonneijck dari organisasi lingkungan Wetlands International (sumber: www.dw.com).
7. Membaca tanda2 alam melalui perilaku hewan
Sebenarnya kita bisa membaca tanda2 alam bakal terjadinya bencana besar apapun dari perilaku hewan yang tidak biasa di daerah tersebut. Hewan tertentu memang dibekali kemampuan lebih oleh Allah Swt dalam hal membaca tanda alam daripada manusia itu sendiri (kecuali manusia khusus yang diberi kelebihan oleh Allah Swt). Tidak ada salahnya, kita sebagai manusia biasa harus mau belajar dari manapun, termasuk dari perilaku hewan. Dikutip dari https://phinemo.com, berikut hewan2 yang bisa mendeteksi bencana gempa bumi dan tsunami:
- Kucing: tidak hanya menjadi salah satu hewan yang paling dekat dengan manusia, tapi juga cukup sensitif akan kedatangan bencana gempa. Biasanya selang beberapa hari sebelum bencana datang, kucing akan menunjukkan perilaku yang cukup aneh. Kucing akan menjadi lebih mudah stress dan mudah mengamuk. Diperkirakan, hewan pendeteksi bencana alam yang satu ini mengetahui gejala ancaman melalui pendengarannya
- Anjing: sangat sensitif (terlihat gelisah, gemetar, dan menggigal) jika akan terjadi bencana besar, termasuk gempa bumi dan cuaca ekstrem
- Sapi: biasanya akan menurunkan produksi susu dalam jumlah yang cukup drastis ketika bencana gempa datang
- Burung bangau: biasanya hidup dengan normal di kawasan sekitar pantai, tiba-tiba saja berbondong-bondong terbang menjauh dari area pantai. Itu sudah dibuktikan sebelum terjadinya gempa dan tsunami Aceh dan Nias
- Gajah: biasanya jika mereka meraung-raung dan berlari dengan liar itu pertanda akan terjadi bencana gempa bumi dan tsunami. Konon, gajah dipercaya sebagai hewan pendeteksi bencana alam melalui sensor yang ada di kakinya. Hal ini dibuktikan sebelum terjadi gempa di Sri Lanka dan India (2005) dan juga tsunami di Pantai Khao Lak Thailand. Bahkan, gajah2 di Thailand menyelematkan sejumlah turis yang menunggangi gajah tersebut karena gajah2 tsb segera berlari ke bukit sesaat sebelum tsunami terjadi
- Katak: hewan ini akan menjauh dari pusat gempa untuk menyelematkan diri mereka
- Kuda: hewan ini akan meringkik keras dengan intensitas frekuensi yang intens ketika merasa akan terjadi bencana alam. Di alam liar, kuda akan bergerak dengan membentuk formasi melingkar dengan gerakan panik ketika akan terjadi bencana alam
- Semut: biasanya jika mereka bergerombol akan membubarkan diri dari sarang dan mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman, itu pertanda akan terjadinya gempa bumi
- Ular: biasanya hibernasi dan bersembunyi di tempat-tempat hangat justru keluar dan kabur ke tempat yang lebih jauh dari pusat terjadinya bencana. Hal ini terlihat ketika gempa terjadi di Tiongkok saat musim dingin
Banyaknya bangunan yang ambruk akibat gempa bumi di Palu mengindikasikan sebagian besar bangunan di sana belum didesain untuk tahan gempa. Menurut Dwantoro Hardjito, pemilik bangunan dan tukang yang mengerjakan dapat dipastikan tidak memiliki pengetahuan cukup tentang perilaku material dinding bata dan pengaku beton bertulang (istilah aneh, intinya menurut orang awam mah bangunan tahan gempa lah😜). Masih menurut beliau, akibatnya, bangunan yang dihasilkan hanya kuat memikul beban gravitasi, tapi sangat rentan beban gempa. Teknologinya sudah tersedia, bahkan tanpa tambahan biaya, hanya masalahnya mau belajar dan menggunakan atau tidak. Di sini penyadaran dan pelatihan dari pemerintah kepada masyarakat masih minim. Pemerintah pun dinilai masih setengah2 memberikan izin bangunan tahan gempa, padahal hal tersebut sudah dilakukan pasca gempa Yogyakarta pada tahun 2006.
Upaya pembangunan kembali rumah tahan gempa pasca-gempa terdahulu di Indonesia sdh dilakukan dengan adanya:
- Rumah kubah teletubbies di Yogyakarta (bantuan dari negara lain) yang dapat dibangun dalam waktu 1 hari saja dengan teknologi khusus dari luar negeri
- Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) di Aceh dan Nias (proyek pemerintah) yang diklaim ramah lingkungan dengan waktu pengerjaan 2 hari
- Dan yang terbaru rumah Kopassus (bantuan Kopassus) di Serang, Banten, yang disebut2 berbahan dasar campuran 70% semen dan 30% selulosa, serta memiliki risiko minimal terhadap kebakaran (sumber: www.99.co). Konsep rumah tersebut dapat dibangun dalam jangka waktu 7 hari
Rumah-rumah tahan gempa tersebut pada dasarnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing2, ditawarkan dengan harga kisaran Rp. 40-75 juta per unit (sumber: properti.kompas.com). Tapi, ada juga yang gratis (kerja sama pemerintah dengan Corporate Social Responsibility/CSR swasta dan organisasi tertentu) diperuntukkan bagi warga yang kurang mampu.
Untuk penjelasan secara rinci tentang konsep rumah tahan gempa, saya ambil satu contoh konsep rumah tahan gempa yang paling fenomenal di Indonesia, yaitu rumah dome/kubah teletubbies, terdiri dari 2 lantai, disebut ramah dengan alam dan bisa
diselesaikan selama satu hari pembangunan menggunakan teknologi khusus. Rumah tersebut tentunya harus dibangun di atas tanah yang stabil.
Karena bentuk dan konstruksinya, rumah kubah dipercaya tahan gempa, tahan
api, badai, dan topan. Dome juga disebut anti rayap, tikus, dan jamur. Meskipun menggunakan teknologi khusus, masyarakat setempat dilibatkan penuh dalam proses pembangunannya. Konsep rumah dome bahkan bisa menjadi wisata komersial dan memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar. Namun, konsep ini masih memiliki masalah dalam hal ventilasi, kamar mandi (1 kamar mandi untuk 8-10 orang di tiap bloknya, dan sulit untuk memasak karena asap akan membuat pengap ruangan (sumber: www.rapler.com). Akibatnya, warga membuat ruangan sendiri yang bisa jadi tidak tahan gempa (tidak bisa disalahkan juga karena itu hak warga juga).
4. Pembangunan rumah tahan tsunami
Rumah tahan tsunami yang dibangun di pesisir pantai bisa dikatakan harus lebih kompleks pembangunannya, karena harus tahan tsunami sekaligus menahan gempa bumi dan banjir bandang. Tidak perlu mencari desain dari luar negeri, sejarah membuktikan justru bangunan tradisional Sulawesi Tengah (Palu) yang berbentuk rumah panggung merupakan contoh yang baik untuk pembangunan rumah tahan tsunami. Rumah panggung tsb dibuat dari material kayu terbaik yang terbukti memiliki daya lentur lebih baik daripada material beton. Ikatan balok antar kayu menggunakan pin dan ikatan, sehingga lebih fleksibel terhadap guncangan. Ya, saat gempa bumi dan tsunami di Palu September 2018, banyak rumah panggung yang berdiri kokoh sementara bangunan kiri kanannya luluh lantak. Namun, menurut Rifai Mardin, dosen teknik arsitektur Universitas Tadulako, rumah panggung tersebut memang tahan gempa, tsunami, dan banjir, tapi kemampuannya masih terbatas, yakni:
- Gelombang yang datang tidak setinggi badan bangunan atau di atas 2 meter dari lantai dasar rumah
- Air yang datang tidak membawa debris (tumpukan pecahan batu dan reruntuhan akibat erosi) yang besar
Rumah Tahan Tsunami, Gempa Bumi, dan Banjir Bandang, walau masih Menyimpan Kelemahan. Sumber: properti.kompas.com |
Rifai Mardin, dosen
teknik arsitektur dari Universitas Tadulako, menuturkan, masyarakat
zaman dulu telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kondisi
wilayah tempat tinggalnya.
Pengetahuan ini tercermin dalam berbagai tradisi, termasuk dalam
merancang bangunan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rumah Tradisional Sulawesi, Tahan Gempa dan Tsunami", https://properti.kompas.com/read/2018/10/07/160000721/rumah-tradisional-sulawesi-tahan-gempa-dan-tsunami.
Penulis : Rosiana Haryanti
Editor : Hilda B Alexander
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rumah Tradisional Sulawesi, Tahan Gempa dan Tsunami", https://properti.kompas.com/read/2018/10/07/160000721/rumah-tradisional-sulawesi-tahan-gempa-dan-tsunami.
Penulis : Rosiana Haryanti
Editor : Hilda B Alexander
5. Mengetahui zona-zona rentan likuefaksi (bukan likuifaksi), yaitu tanah yang mencair kehilangan kekuatannya akibat kejadian ekstrem seperti gempa. Zona likuefaksi kini masih belum jelas dan penelitiannyan pun masih minim. Kalaupun sudah diketahui, itu akibat didahului gempa bumi dan tsunami di Palu. Zona likuefaksi di Palu tepatnya di daerah Petobo, Balaroa, dan Jono Oge. Zona likuefaksi wajib dijadikan daerah terbuka hijau dan bukan untuk area hunian (sumber: Dwantoro Hardjito). Saat ini, belum ada rumah tahan likuefaksi, jadi dilarang untuk dijadikan tempat tinggal penduduk. Sehebat dan sekokoh apapun bangunan, jika tanah di bawahnya terkena likuefaksi akan hanyut dalam sekejap😱.
6. Pendidikan mitigasi bencana dan menjaga alam di Sekolah Formal
Pemerintah harus memasukkan pendidikan manajemen mitigasi bencana dan menjaga alam ke dalam kurikulum pendidikan dan menjadi bagian dari pendidikan formal, seperti halnya mata pelajaran matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dsb. Menurut saya, selama ini pendidikan di Indonesia terlalu dijejali ilmu sains yang menitikberatkan otak kiri (ini harus dikurangi), dibebani sistem peringkat yg cenderung membanding2kan (di luar peringkat 10 besar dianggap kurang pintar), dan kurang memperhatikan ilmu yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, termasuk pendidikan moral, seni kreatif, dan inovatif. Terlalu dijejali ilmu sains membuat murid mudah stres dan kurang terlihat potensi sesungguhnya. Lihat saja di Jepang, anak-anak sekolah sudah diajarkan ilmunya (dan langsung praktik) bagaimana jika terjadi gempa, bagaimana jika terjadi tsunami, bagaimana sikap menghadapi orang asing, bagaimana menjaga kebersihan, bagaimana bersikap jujur (tidak korupsi), bagaimana membentuk karakter yang kuat, bagaimana bermimpi besar, bagaimana melestarikan budaya lokal, bagaimana menjaga kebersihan, bagaimana melestarikan alam, dsb. Tentunya dibutuhkan keteladanan dan kompetensi juga dari para gurunya. Ini yang di Indonesia masih kurang. Berkaitan dengan alam, ada semacam hubungan timbal balik, jika manusianya senang menjaga alam, maka alamnya pun akan memberikan umpan balik yang positif berupa alam yang indah, tanah yang subur, dan cuaca yang berkah, tapi jika manusianya senang merusak alam, maka alam pun akan protes dengan caranya sendiri dengan adanya bencana besar dan yang jadi korban tidak hanya si perusak alam, tapi juga semua orang yang tinggal di daerah tersebut😱.
Perlu digalakkan juga penanaman pohon mangrove (bakau) terutama di daerah pesisir pantai bukan hanya untuk keseimbangan ekosistem dan penghasil oksigen alami, tapi juga untuk mencegah abrasi/pengikisan pantai, mencegah banjir, pemecah ombak alami, dan terutama menahan laju tsunami. Mengapa harus pohon bakau? karena akarnya yang sangat kuat untuk menahan dan mencegah abrasi pantai, banjir, ombak, dan terutama tsunami. Dalam banyak kasus, hutan bakau melindungi kawasan pesisir dari terjangan badai, angin topan atau tsunami sekalipun. Karena ekosistem ini mampu menyesap air dalam jumlah besar dan dengan begitu mencegah banjir. "Akar dan dahan bakau menahan gelombang air" kata Femke Tonneijck dari organisasi lingkungan Wetlands International (sumber: www.dw.com).
Hutan Mangrove (Bakau) yang Kini Mulai Berkurang akibat Ulah Manusia. Sumber: sahabatnesia.com |
7. Membaca tanda2 alam melalui perilaku hewan
Sebenarnya kita bisa membaca tanda2 alam bakal terjadinya bencana besar apapun dari perilaku hewan yang tidak biasa di daerah tersebut. Hewan tertentu memang dibekali kemampuan lebih oleh Allah Swt dalam hal membaca tanda alam daripada manusia itu sendiri (kecuali manusia khusus yang diberi kelebihan oleh Allah Swt). Tidak ada salahnya, kita sebagai manusia biasa harus mau belajar dari manapun, termasuk dari perilaku hewan. Dikutip dari https://phinemo.com, berikut hewan2 yang bisa mendeteksi bencana gempa bumi dan tsunami:
- Kucing: tidak hanya menjadi salah satu hewan yang paling dekat dengan manusia, tapi juga cukup sensitif akan kedatangan bencana gempa. Biasanya selang beberapa hari sebelum bencana datang, kucing akan menunjukkan perilaku yang cukup aneh. Kucing akan menjadi lebih mudah stress dan mudah mengamuk. Diperkirakan, hewan pendeteksi bencana alam yang satu ini mengetahui gejala ancaman melalui pendengarannya
- Anjing: sangat sensitif (terlihat gelisah, gemetar, dan menggigal) jika akan terjadi bencana besar, termasuk gempa bumi dan cuaca ekstrem
- Sapi: biasanya akan menurunkan produksi susu dalam jumlah yang cukup drastis ketika bencana gempa datang
- Burung bangau: biasanya hidup dengan normal di kawasan sekitar pantai, tiba-tiba saja berbondong-bondong terbang menjauh dari area pantai. Itu sudah dibuktikan sebelum terjadinya gempa dan tsunami Aceh dan Nias
- Gajah: biasanya jika mereka meraung-raung dan berlari dengan liar itu pertanda akan terjadi bencana gempa bumi dan tsunami. Konon, gajah dipercaya sebagai hewan pendeteksi bencana alam melalui sensor yang ada di kakinya. Hal ini dibuktikan sebelum terjadi gempa di Sri Lanka dan India (2005) dan juga tsunami di Pantai Khao Lak Thailand. Bahkan, gajah2 di Thailand menyelematkan sejumlah turis yang menunggangi gajah tersebut karena gajah2 tsb segera berlari ke bukit sesaat sebelum tsunami terjadi
- Katak: hewan ini akan menjauh dari pusat gempa untuk menyelematkan diri mereka
- Kuda: hewan ini akan meringkik keras dengan intensitas frekuensi yang intens ketika merasa akan terjadi bencana alam. Di alam liar, kuda akan bergerak dengan membentuk formasi melingkar dengan gerakan panik ketika akan terjadi bencana alam
- Semut: biasanya jika mereka bergerombol akan membubarkan diri dari sarang dan mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman, itu pertanda akan terjadinya gempa bumi
- Ular: biasanya hibernasi dan bersembunyi di tempat-tempat hangat justru keluar dan kabur ke tempat yang lebih jauh dari pusat terjadinya bencana. Hal ini terlihat ketika gempa terjadi di Tiongkok saat musim dingin
8. Mempersiapkan bekal yang cukup dan mengamankan dokumen penting dalam 1 tas ransel
Mempersiapkan diri dari kemungkinan terburuk (gempa) terjadi, sehingga sudah tidak perlu memikirkan barang dan dokumen apa saja yang harus segera diselamatkan. Itu semua sudah tersimpan rapi dalam 1 tas ransel. Bagaimana dengan hewan ternak dan peliharaan? Tentunya itu tidak memungkinkan jika dibawa saat terjadi gempa karena situasinya darurat, tapi lepaskan hewan2 tersebut dari kandang (kecuali hewan buas ya takut membahayakan warga sekitar😁). Yang terpenting persiapkan untuk keselamatan diri sendiri, keluarga, dan tetangga terdekat.
Di-update 20 Maret 2019
9. Mempersiapkan alat pendeteksi gempa bumi dan tsunami
Seringkali alat pendeteksi gempa bumi dan tsunami sudah terpasang di titik rawan gempa & tsunami, tapi tidak dicek secara berkala, shg saat dibutuhkan malah tidak berfungsi. Bahkan pernah kejadian sirine pendeteksi gempa bumi berbunyi & membuat warga sekitar panik malah TDK terjadi gempa bumi. Setelah dicek, ternyata alat pendeteksinya lagi error. Keberadaan alat tsb sngt penting sbg alarm bagi warga sekitar bahwa gempa bumi & tsunami berpotensi terjadi & hrs bertindak cepat utk menghindarinya.
10. Memperbanyak amal kebaikan, ibadah, dan doa
Dengan memperbanyak amal kebaikan, ibadah, dan doa, diharapkan kita semua selalu mendapatkan perlindungan dari segala macam bahaya, termasuk bencana. Aamiin😇. Jikalau bencana pun tetap terjadi, setidaknya amal kebaikan, ibadah, dan doa menjadi penyelamat agar mendapatkan jalan terbaik di dunia maupun di akhirat. Aamiin😇.
b. Tahap Represif
1. Jika terjadi gempa:
Mempersiapkan diri dari kemungkinan terburuk (gempa) terjadi, sehingga sudah tidak perlu memikirkan barang dan dokumen apa saja yang harus segera diselamatkan. Itu semua sudah tersimpan rapi dalam 1 tas ransel. Bagaimana dengan hewan ternak dan peliharaan? Tentunya itu tidak memungkinkan jika dibawa saat terjadi gempa karena situasinya darurat, tapi lepaskan hewan2 tersebut dari kandang (kecuali hewan buas ya takut membahayakan warga sekitar😁). Yang terpenting persiapkan untuk keselamatan diri sendiri, keluarga, dan tetangga terdekat.
Klik Gambar agar Lebih Jelas Tulisannya |
9. Mempersiapkan alat pendeteksi gempa bumi dan tsunami
Seringkali alat pendeteksi gempa bumi dan tsunami sudah terpasang di titik rawan gempa & tsunami, tapi tidak dicek secara berkala, shg saat dibutuhkan malah tidak berfungsi. Bahkan pernah kejadian sirine pendeteksi gempa bumi berbunyi & membuat warga sekitar panik malah TDK terjadi gempa bumi. Setelah dicek, ternyata alat pendeteksinya lagi error. Keberadaan alat tsb sngt penting sbg alarm bagi warga sekitar bahwa gempa bumi & tsunami berpotensi terjadi & hrs bertindak cepat utk menghindarinya.
10. Memperbanyak amal kebaikan, ibadah, dan doa
Dengan memperbanyak amal kebaikan, ibadah, dan doa, diharapkan kita semua selalu mendapatkan perlindungan dari segala macam bahaya, termasuk bencana. Aamiin😇. Jikalau bencana pun tetap terjadi, setidaknya amal kebaikan, ibadah, dan doa menjadi penyelamat agar mendapatkan jalan terbaik di dunia maupun di akhirat. Aamiin😇.
b. Tahap Represif
1. Jika terjadi gempa:
Klik Gambar agar Lebih Jelas Tulisannya. Sumber: IG @milleniumict |
2. Jika terjadi tsunami:
Satu yg hrs diwaspadai saat akan terjadinya tsunami yaitu laut tiba2 surut sesaat stlh gempa. Di situ ikan2 akan terlihat menggelepar di darat. Org awam mengatakan itu rezeki, segera diambil, pdhl laut surut stlh gempa dan ikan menggelepar di darat itu pertanda akan datangnya tsunami. Selalu pantau sistem peringatan dini tsunami dan juga informasi darurat tentang bencana, baik dari media (kalau ada) maupun mendengar langsung.
Klik Gambar agar Lebih Jelas Tulisannya |
Tsunami di Palu (sktr 8 menit) jauh lbh cepat dari tsunami di Aceh (sktr 20 menit). Hal ini diakibatkan Teluk Palu yg lbh dangkal dan sempit dari Aceh. Jadi, bisa dibayangkan, warga pesisir pantai di Palu hny pny waktu 8 menit utk berlari ke tempat yg aman😱.
Di-update 23 Desember 2018: Indonesia kembali dikagetkan dgn bencana tsunami langka yg cukup merusak (pertama terjadi stlh 1883) akibat longsoran vulkanologi, diawali oleh erupsi Gunung Anak Krakatau yg terjadi di Selat Sunda, Anyer, Banten, & Lampung. Berbeda dgn tsunami Palu yg didahului gempa bumi & sistem peringatan dini (sirine), maka tsunami yg skrg terjadi tdk didahului gempa bumi besar & suara sirine. BMKG sendiri blm memiliki teknologi sistem peringatan dini tsunami yg terjadi akibat selain gempa bumi. Sehingga, sungguh menyedihkan, dgn ketiadaan sistem peringatan dini tsb, korban tdk sempat berlari ke daerah yg lbh tinggi & aman😱. Bencana tsb menimbulkan bnyk korban jiwa, tercatat 168 org meninggal dunia, 745 org luka2, & 30 org hilang (update Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB, 23 Desember 2018 jam 13). Jumlah korban kmgkn bertambah mengingat blm semua wilayah terdampak bencana tersentuh.
Berbeda dgn tsunami akibat gempa bumi yg puncaknya hny terjadi sekali sesaat setelah gempa (stlh itu tdk berbahaya), maka tsunami akibat longsoran vulkanologi yg diawali erupsi gunung bisa justru bisa terjadi kembali dgn kekuatan yg tdk bisa diprediksi tergantung kekuatan erupsi gunung. Status Gunung Anak Krakatau sendiri setelah terjadinya tsunami sampai jam 13 (tgl 23 Desember 2018) adalah waspada, jadi belum bnr2 aman dan warga sekitar wajib mengungsi.
3. Pengungsian
Korban bencana alam pada dasarnya tidak sekedar membutuhkan tempat tinggal sementara yang representatif, tapi juga kebutuhan hidupnya harus terpenuhi sebagaimana seperti ketika hidup sebelum terjadinya bencana. Privasi sudah pasti agak terganggu, karena harus hidup berdampingan dengan banyak korban lain yang senasib. Anak2 harus diberi perhatian lebih dan dihibur. Semuanya harus dikelola melalui manajemen pengungsian yang baik agar hak2 para korban terpenuhi dan risiko terjadinya konflik bisa diminimalisir. Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja di tempat pengungisan, tapi juga harus didampingi&membutuhkan kehadiran:
- Kepala daerah, menteri terkait, bhkn kepala negara jika memang sdh masuk kategori bencana nasional
- Kepala daerah, menteri terkait, bhkn kepala negara jika memang sdh masuk kategori bencana nasional
- Psikolog untuk terapi psikologis dan mental para pengungsi, terutama yang masih anak2. Disebut juga trauma healing
- Psikiater kalau ada pengungsi yang terindikasi mengalami gangguan kejiawaan
- Dokter kalau ada pengungsi yang tiba2 sakit, berlaku juga utk sukarelawan, & pihak terkait lainnya
- Koki profesional agar dapur umum menyajikan masakan berkualitas, halal, higienis, dan tentunya semakin menambah semarak
- Penceramah untuk meningkatkan spiritualitas para korban bencana alam
- Motivator untuk membangkitkan kembali semangat hidup para pengungsi
- Entertainer, baik itu artis, penyanyi, komedian, dsb, untuk menghibur para pengungsi, tapi tetap memperhatikan empati dan kepedulian sosial yang baik
- Orang2 inspiratif yang pernah menjadi korban bencana alam, namun segera bangkit dan sukses
Jangan lupakan juga peran besar sukarelawan yang mau berkorban untuk kepentingan orang banyak, bahkan kepentingan diri sendiri dan keluarganya pun terabaikan. Saya rasa kehadiran orang2 tsb di tempat2 pengungsian di Indonesia masih terlihat belum optimal dan cenderung setengah2 (mungkin masalah keterbatasan anggaran juga hehe..), tapi ke depannya hal tersebut sudah menjadi semacam keharusan.
Kementerian Sosial menyoroti perlu adanya pembenahan manajemen pengungsian bencana alam:
- Tempat pengungsian seluas 100 meter idealnya dihuni oleh 50 orang pengungsi, tapi saat ini bisa dihuni oleh 100-200 pengungsi (persis spt masalah pada Lapas😜)
- Pasokan air bersih dan tempat sampah masih kurang
- Emergency Shelter harusnya antara 3-10 hari, faktanya banyak yang berbulan2
- Perlunya ada sistem kamar agar privasi terjaga
- Ventilasi harus ditingkatkan
(sumber: www.republika.co.id)
4. Rentan Penjarahan
- Pasokan air bersih dan tempat sampah masih kurang
- Emergency Shelter harusnya antara 3-10 hari, faktanya banyak yang berbulan2
- Perlunya ada sistem kamar agar privasi terjaga
- Ventilasi harus ditingkatkan
(sumber: www.republika.co.id)
4. Rentan Penjarahan
Berkaca dari bencana gempa bumi di Palu, ternyata penjarahan ada yg dibolehkan dan diucapkan langsung melalui pengumuman Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, 30 September 2018, bahwa masyarakat korban bencana alam boleh mengambil bahan makanan di jejaring toko serba ada, Hypermart, Indomaret dan Alfamart dgn syarat bantuan yg diharapkan blm diterima akibat sulitnya akses. Semuanya nanti akan diganti oleh pemerintah. Namun, masalahnya ada penyusup pelaku kriminal murni yg bkn korban bencana alam ikut2an memanfaatkan situasi utk kepentingan pribadi. Bahkan pengumuman Mendagri disalahartikan sampai mengambil bhn bakar dan menjebol Anjungan Tunai Mandiri (ATM) segala. Dikhawatirkan bnyk provokator juga. Untungnya, kepolisian setempat sdh bisa mengetahui mana korban bencana alam mana korban jadi-jadian yg lgsg ditangkap. Tapi, jelas ini bukan kondisi yg ideal dan hrs diperbaiki ke depannya. Peran kepolisian hrs lbh optimal dan selalu berkoordinasi dgn aparat penegak hukum lainnya (sumber: BBC News Indonesia tanggal 2 Oktober 2018).
5. Memperbanyak amal kebaikan, ibadah, dan berdoa
5. Memperbanyak amal kebaikan, ibadah, dan berdoa
Jikalau bencana pun tetap terjadi, setidaknya amal kebaikan, ibadah, dan
doa menjadi penyelamat agar mendapatkan jalan terbaik di dunia maupun
di akhirat, serta akan mendapatkan pertolongan dari arah yang tidak diduga2. Aamiin😇.
Setiap bencana memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga membutuhkan manajemen mitigasi yang berbeda pula. Di samping bencana gempa bumi dan tsunami, Indonesia juga rawan banjir dan longsor ketika sudah memasuki musim peralihan dan musim hujan. Tingkat kewaspadaan harus semakin tinggi saat akhir tahun, pergantian tahun, dan terutama awal tahun, karena saat2 awal tahun merupakan puncak musim hujan. Untuk itu, saya akan membuat artikel blog berikutnya tentang manajemen mitigasi bencana banjir dan longsor di Jawa Barat. Semoga dengan adanya manajemen mitigasi bencana yang semakin baik (tidak sebatas teori, tapi juga praktik), maka risiko akibat bencana dapat diminimalisir melalui langkah preventif dan represif yang tepat. Dan hal tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan hanya pemerintah semata. Terakhir, terlepas dari segala kekurangan (mhn dimaafkan), semoga artikel ini bermanfaat :)
Setiap bencana memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga membutuhkan manajemen mitigasi yang berbeda pula. Di samping bencana gempa bumi dan tsunami, Indonesia juga rawan banjir dan longsor ketika sudah memasuki musim peralihan dan musim hujan. Tingkat kewaspadaan harus semakin tinggi saat akhir tahun, pergantian tahun, dan terutama awal tahun, karena saat2 awal tahun merupakan puncak musim hujan. Untuk itu, saya akan membuat artikel blog berikutnya tentang manajemen mitigasi bencana banjir dan longsor di Jawa Barat. Semoga dengan adanya manajemen mitigasi bencana yang semakin baik (tidak sebatas teori, tapi juga praktik), maka risiko akibat bencana dapat diminimalisir melalui langkah preventif dan represif yang tepat. Dan hal tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan hanya pemerintah semata. Terakhir, terlepas dari segala kekurangan (mhn dimaafkan), semoga artikel ini bermanfaat :)
Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan & kemanusiaan, full text english) dan ketiga (tentang masalah & solusi kelistrikan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:
Blog 2: healthyhumanityvicagi.blogspot.com
Blog 3: listrikvic.blogspot.com
Infonya sangat bermanfaat. Gempa memang tdk bisa diprediksi, hny diketahui potensi dan tanda2nya saja
BalasHapusYa,bnr, sama halnya dgn umur manusia. Thx
BalasHapus👍🏻
BalasHapus👍👌
BalasHapusSy dah liat neh dahsyatnya gempa bumi di sulawesi tengah
BalasHapusBarusan sy liat sekilas di youtube bro, ngeri memang, apalagi likuefaksi, itu bkn zona utk dihuni manusia, sayang zona likuefaksi blm jls. Ok, thx sdh mampir k blog sy
Hapus