Baru-baru ini, masyarakat Kota Bandung merasa terganggu dengan pemberitaan negatif kasus Tamansari RW 11 Bandung, yaitu kasus pembongkaran rumah warga (176 kepala keluarga) untuk dibangun rumah deret yang berujung konflik dan penggusuran paksa bagi warga setempat yang menolak. Tindakan represif aparat terpaksa dilakukan akibat diprovokasi oleh oknum warga yang melakukan pelemparan batu ke arah aparat yang mengakibatkan beberapa aparat mengalami luka-luka. Diduga oknum warga tersebut bukan warga asli setempat, melainkan warga luar yang ingin mengadu domba pihak-pihak terkait. Tapi, ujung-ujungnya warga asli setempat juga yang menjadi sasaran tindakan represif pihak aparat.
Saya lebih menyoroti kasus ini dari konflik hukum dari para pihak yang terlibat, yaitu dari pihak warga Tamansari RW 11 dan Pemerintah Kota Bandung dengan eksekutor Satpol PP Kota Bandung dibantu kepolisian setempat. Masing-masing pihak memiliki dasar hukum yang kuat namun berpotensi saling berbenturan. Konflik hukum tersebut meliputi:
1. Hukum dan HAM
- Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjadi dasar hukum setiap warga negara agar hak dasar/asasinya dilindungi. Jika ada satu saja haknya dizalimi oleh penguasa, maka bertentangan UU Nomor 39 Tahun 1999
- Diduga telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 40 UU HAM yaitu hak untuk bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak karena warga yang tergusur tidak memiliki lagi tempat tinggal
- Diduga telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 36 UU HAM yaitu tidak boleh seorang pun dirampas hak miliknya dengan cara sewenang-wenang dan melawan hukum. Tindakan represif dan kekerasan jelas tidak dibenarkan walaupun aparat mengklaim akibat diprovokasi oknum warga, tapi yang dirugikan warga Tamansari RW 11 yang tergusur (videonya sempat viral dan wajib dicari akar masalahnya serta diusut tuntas)
- Juga mengacu kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara (sebagai dasar ideologi dan dasar filosifis negara, sehingga materi muatan perundang-undangan harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila) Hal tersebut harus diperhatikan penguasa setempat, terutama sila kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab), sila keempat (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan) dan sila kelima (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Sila kedua mencerminkan sisi kemanusiaan, sila keempat lebih kepada musyawarah untuk mencapai mufakat, dan sila kelima mencerminkan keadilan sosial. Dalam kasus ini, penggusuran paksa untuk pembangunan kembali rumah deret diduga kurang mengedepankan sifat manusiawi, cenderung sepihak dan tidak ada mufakat, serta tidak adil. Sehingga bertentangan dengan sila kedua, keempat, dan kelima Pancasila
- Membahas musyawarah untuk mufakat dalam kasus ini, tidak hanya warga setempat yang merasa tidak mencapai mufakat, tetapi juga Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penanganan Kawasan Kumuh merasa dilangkahi dan tidak diajak bermusyawarah. Seharusnya Pemkot Bandung harus berkonsultasi dengan pansus tersebut sebelum melakukan eksekusi. Apalagi tidak ada sosialisasi, uji publik, ahli yang didatangkan, dan kunjungan lapangan ke kawasan-kawasan kumuh di Bandung sebagai studi banding. Hal ini berujung protes keras dari pansus dan menyuarakan agar raperda ditunda saja (sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 18 Desember 2019)
-Ironisnya Kota Bandung baru saja menjadi tuan rumah Konferensi Internasioanal HAM dan mendapatkan penghargaan sebagai Kota Peduli HAM (dalam rangka memperingati hari HAM sedunia 10 Desember) didasarkan pada kriteria terpenuhinya hak atas kesehatan, pendidikan, perempuan dan anak, kependudukan, pekerjaan, perumahan yang layak, dan hak atas lingkungan yang berkelanjutan. Dalam kasus ini, ada kriteria yang dilanggar yaitu hak atas perumahan yang layak. Menggusur paksa sebelum ada solusi yang disepakati adalah keputusan sepihak dari penguasa dan merugikan warga setempat. Warga pun seperti dalam kondisi tidak berdaya, padahal memiliki hak untuk menerima atau menolak, dan juga memberikan aspirasi
- Indonesia juga tunduk pada hukum internasional melalui ratifikasi/pengesahan Kovenan/perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam kasus ini, penguasa wajib memperhatikan hak-hak ekonomi (hidup layak) dan sosial (masalah penggusuran)
(Sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 17 Desember 2019, artikel tentang Penggusuran vs HAM dengan penulis Melani, advokat dan dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan)
2. Hukum Pengamanan Aset Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung
- Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Kedua aturan tersebut menjadi dasar hukum penertiban aset milik Pemkot Bandung yang eksekusinya dilakukan Satpol PP Kota Bandung dibantu oleh kepolisian setempat
- Pengamanan aset Tamansari Bandung yang menjadi hak Pemkot Bandung sudah sesuai dengan PP Nomor 27 Tahun 2014 pasal 42 ayat 1 (pengelola barang, pengguna barang, dan/kuasa pengguna wajib melakukan pengamanan barang miliki daerah yang berada di wilayah kekuasaannya) dan ayat 2 (pengamanan barang milik negara/daerah meliputi pengamanan administrasi, fisik, dan hukum
- Pengamanan hukum hak atas tanah Tamansari dilakukan oleh Pemkot Bandung dengan mengajukan permohonan sertifikat tanah ke Kantor Badan Pertanahan Kota Bandung dan sudah diterbitkan peta bidang tanahnya
- Sebelum penertiban, sudah ada musyawarah dan surat peringatan sampai tiga kali, tapi masih deadlock
- Aparat mengaku diprovokasi oleh oknum warga yang diduga bukan warga setempat, sehingga timbullah kekerasan fisik terhadap warga setempat
(sumber: cnnindonesia.com)
- Eksekusi yang dilakukan oleh Pemkot Bandung semakin dikuatkan dengan adanya penolakan gugatan warga Tamansari RW 11 oleh Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dan membuat penggugat akan mengajukan banding. Hakim menilai tergugat tidak melanggar asas kepastian hukum dan kecermatan. Sebelum menerbitkan izin lingkungan, tergugat telah mengeluarkan analisis mengenai dampak lingkungan/amdal, Rencana Pemantauan Lingkungan/RPL, Rencana Pengelola Lingkungan (RPL), dan telah melakukan sosialisasi. Khusus sosialisasi terlihat bertentangan dengan pendapat pansus raperda tentang penanganan kawasan kumuh bahwa sosialisasi hanya ke beberapa orang saja
- Walikota Bandung, Oded Daniel bersyukur dengan putusan PTUN Bandung dan menghormati keputusan penggugat untuk banding. Namun, proses pembangunan rumah deret Tamansari dipastikan tidak akan terganggu dengan upaya banding tersebut dan pembangunan tetap akan dilanjutkan secara bertahap, dimulai dari membereskan urusan administrasi
(sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 20 Desember 2019)
Kesimpulan: menyikapi kasus tersebut, baik warga Tamansari RW 11 maupun Pemkot Bandung sama-sama memiliki dasar hukum yang kuat. Hanya harus diperhatikan bahwa posisi warga Tamansari RW 11 dan penguasa (Pemkot Bandung) harus seimbang dan setara, menganut asas persamaan di depan hukum. Pemkot Bandung memang memiliki kekuasaan, tapi harus memperhatikan keadilan sosial, aspirasi, dan hak asasi warga setempat agar tidak melanggar hukum yang lain. Kekuasaan harus digunakan untuk melindungi yang lemah, bukan menindas yang lemah. Sebelum mencapai kata mufakat, lebih baik ditunda saja dulu, jangan dipaksakan, nanti yang jelek penguasa setempat, termasuk aparat keamanan setempat. Penegakan hukum memang penting, tapi perhatikan juga sisi kemanusiaannya. Semoga saja ada solusi yang lebih bijak ke depannya. Aamiin😇
Demikian artikel saya, silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english) dan ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:
1. Hukum dan HAM
- Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjadi dasar hukum setiap warga negara agar hak dasar/asasinya dilindungi. Jika ada satu saja haknya dizalimi oleh penguasa, maka bertentangan UU Nomor 39 Tahun 1999
- Diduga telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 40 UU HAM yaitu hak untuk bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak karena warga yang tergusur tidak memiliki lagi tempat tinggal
- Diduga telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 36 UU HAM yaitu tidak boleh seorang pun dirampas hak miliknya dengan cara sewenang-wenang dan melawan hukum. Tindakan represif dan kekerasan jelas tidak dibenarkan walaupun aparat mengklaim akibat diprovokasi oknum warga, tapi yang dirugikan warga Tamansari RW 11 yang tergusur (videonya sempat viral dan wajib dicari akar masalahnya serta diusut tuntas)
- Juga mengacu kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara (sebagai dasar ideologi dan dasar filosifis negara, sehingga materi muatan perundang-undangan harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila) Hal tersebut harus diperhatikan penguasa setempat, terutama sila kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab), sila keempat (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan) dan sila kelima (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Sila kedua mencerminkan sisi kemanusiaan, sila keempat lebih kepada musyawarah untuk mencapai mufakat, dan sila kelima mencerminkan keadilan sosial. Dalam kasus ini, penggusuran paksa untuk pembangunan kembali rumah deret diduga kurang mengedepankan sifat manusiawi, cenderung sepihak dan tidak ada mufakat, serta tidak adil. Sehingga bertentangan dengan sila kedua, keempat, dan kelima Pancasila
- Membahas musyawarah untuk mufakat dalam kasus ini, tidak hanya warga setempat yang merasa tidak mencapai mufakat, tetapi juga Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penanganan Kawasan Kumuh merasa dilangkahi dan tidak diajak bermusyawarah. Seharusnya Pemkot Bandung harus berkonsultasi dengan pansus tersebut sebelum melakukan eksekusi. Apalagi tidak ada sosialisasi, uji publik, ahli yang didatangkan, dan kunjungan lapangan ke kawasan-kawasan kumuh di Bandung sebagai studi banding. Hal ini berujung protes keras dari pansus dan menyuarakan agar raperda ditunda saja (sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 18 Desember 2019)
-Ironisnya Kota Bandung baru saja menjadi tuan rumah Konferensi Internasioanal HAM dan mendapatkan penghargaan sebagai Kota Peduli HAM (dalam rangka memperingati hari HAM sedunia 10 Desember) didasarkan pada kriteria terpenuhinya hak atas kesehatan, pendidikan, perempuan dan anak, kependudukan, pekerjaan, perumahan yang layak, dan hak atas lingkungan yang berkelanjutan. Dalam kasus ini, ada kriteria yang dilanggar yaitu hak atas perumahan yang layak. Menggusur paksa sebelum ada solusi yang disepakati adalah keputusan sepihak dari penguasa dan merugikan warga setempat. Warga pun seperti dalam kondisi tidak berdaya, padahal memiliki hak untuk menerima atau menolak, dan juga memberikan aspirasi
- Indonesia juga tunduk pada hukum internasional melalui ratifikasi/pengesahan Kovenan/perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam kasus ini, penguasa wajib memperhatikan hak-hak ekonomi (hidup layak) dan sosial (masalah penggusuran)
(Sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 17 Desember 2019, artikel tentang Penggusuran vs HAM dengan penulis Melani, advokat dan dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan)
2. Hukum Pengamanan Aset Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung
- Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Kedua aturan tersebut menjadi dasar hukum penertiban aset milik Pemkot Bandung yang eksekusinya dilakukan Satpol PP Kota Bandung dibantu oleh kepolisian setempat
- Pengamanan aset Tamansari Bandung yang menjadi hak Pemkot Bandung sudah sesuai dengan PP Nomor 27 Tahun 2014 pasal 42 ayat 1 (pengelola barang, pengguna barang, dan/kuasa pengguna wajib melakukan pengamanan barang miliki daerah yang berada di wilayah kekuasaannya) dan ayat 2 (pengamanan barang milik negara/daerah meliputi pengamanan administrasi, fisik, dan hukum
- Pengamanan hukum hak atas tanah Tamansari dilakukan oleh Pemkot Bandung dengan mengajukan permohonan sertifikat tanah ke Kantor Badan Pertanahan Kota Bandung dan sudah diterbitkan peta bidang tanahnya
- Sebelum penertiban, sudah ada musyawarah dan surat peringatan sampai tiga kali, tapi masih deadlock
- Aparat mengaku diprovokasi oleh oknum warga yang diduga bukan warga setempat, sehingga timbullah kekerasan fisik terhadap warga setempat
(sumber: cnnindonesia.com)
- Eksekusi yang dilakukan oleh Pemkot Bandung semakin dikuatkan dengan adanya penolakan gugatan warga Tamansari RW 11 oleh Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dan membuat penggugat akan mengajukan banding. Hakim menilai tergugat tidak melanggar asas kepastian hukum dan kecermatan. Sebelum menerbitkan izin lingkungan, tergugat telah mengeluarkan analisis mengenai dampak lingkungan/amdal, Rencana Pemantauan Lingkungan/RPL, Rencana Pengelola Lingkungan (RPL), dan telah melakukan sosialisasi. Khusus sosialisasi terlihat bertentangan dengan pendapat pansus raperda tentang penanganan kawasan kumuh bahwa sosialisasi hanya ke beberapa orang saja
- Walikota Bandung, Oded Daniel bersyukur dengan putusan PTUN Bandung dan menghormati keputusan penggugat untuk banding. Namun, proses pembangunan rumah deret Tamansari dipastikan tidak akan terganggu dengan upaya banding tersebut dan pembangunan tetap akan dilanjutkan secara bertahap, dimulai dari membereskan urusan administrasi
(sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 20 Desember 2019)
Mall Baltos Bandung dan Masjid di Sebelahnya Berdiri Tegak tapi Terlihat Kumuh Akibat Porak Porandanya Rumah Warga Tamansari RW 11, Bukan Akibat Bencana Alam, Tapi Akibat Penggusuran Paksa... |
Kesimpulan: menyikapi kasus tersebut, baik warga Tamansari RW 11 maupun Pemkot Bandung sama-sama memiliki dasar hukum yang kuat. Hanya harus diperhatikan bahwa posisi warga Tamansari RW 11 dan penguasa (Pemkot Bandung) harus seimbang dan setara, menganut asas persamaan di depan hukum. Pemkot Bandung memang memiliki kekuasaan, tapi harus memperhatikan keadilan sosial, aspirasi, dan hak asasi warga setempat agar tidak melanggar hukum yang lain. Kekuasaan harus digunakan untuk melindungi yang lemah, bukan menindas yang lemah. Sebelum mencapai kata mufakat, lebih baik ditunda saja dulu, jangan dipaksakan, nanti yang jelek penguasa setempat, termasuk aparat keamanan setempat. Penegakan hukum memang penting, tapi perhatikan juga sisi kemanusiaannya. Semoga saja ada solusi yang lebih bijak ke depannya. Aamiin😇
Demikian artikel saya, silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english) dan ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya: