Selamat buat tim nasional (timnas) sepak bola putra Indonesia U-22 yang berhasil meraih juara pertama Piala AFF U-22 tahun 2019 setelah mengalahkan Thailand U-22 dengan skor 2-1. Kemenangan tsb terasa lebih membanggakan karena diraih di luar kandang, yaitu di Kamboja, diitambah keprihatinan seperti konflik yg menimpa organisasi sepak bola tertinggi di Indonesia, PSSI, & kekuatan timnas kita yg sbnrnya berkurang akibat Saddil, Egy, dan Ezra tidak diizinkan klubnya (di luar negeri) utk memperkuat timnas. Mengapa tidak diizinkan? karena turnamen Piala AFF U-22 bukan merupakan turnamen resmi yang terdaftar di kalender federasi sepak bola tertinggi dunia, FIFA, tapi hanya buatan salah satu federasi cabang, federasi sepak bola tertinggi di Asia Tenggara/AFF (aneh kok federasi induk dan cabangnya ga kompak ya, jadi ga masuk perhitungan poin FIFA dong utk penentuan peringkat timnas🤔) #FIFAmahbebas.
Sudahlah, semoga saja performa timnas Indonesbia U-22 bisa terus meningkat dan konsisten ke depannya (jgn euforia akbt baru sj juara, dielu2kan bnyk orang, bertemu presiden, & dpt bonus besar). Ada tugas berat menanti, yaitu saatsaat mengha tantangan berikutnya, yaitu kualifikasi Piala Asia 2020 (nah kl yg ini diakui FIFA😜), SEA Games 2019 (blm ada info diakui FIFA atau tdk), & trkhr saat harus naik level ke senior. Tentunya dibutuhkan kerja keras dan cerdas, melibatkan para pemain, tim pelatih dan seluruh ofisial tim. Tapi, itu saja belum cukup, perlu dukungan penuh dari pemerintah, klub tempat para pemain bernaung, stakeholder (pemangku kepentingan) lainnya, & tidak kalah penting tentu saja suporter timnas Indonesia yang dikenal fanatik dan tanpa pamrih mendukung timnas Indonesia, bahkan ketika main di luar negeri sekalipun, sehingga menjadi semacam energi positif tersembunyi bagi timnas Indonesia👏🏻.
Tim Garuda Muda sudah tidak lagi Jago Kandang. Sumber: goriau.com |
Ok, sebenarnya judul di atas tsb merupakan kekhawatiran saya dan juga seluruh penggemar sepak bola nasional, khususnya timnas, baik level junior maupun senior. Ada semacam lelucon yg ada benarnya juga, kenapa pemain di level timnas junior bisa tampil luar biasa, disebut2 "the rising star", tapi begitu ke level timnas senior dan kompetisi liga kasta tertinggi di Indonesia justru melempem, bahkan tidak sedikit yang menjadi penghuni bangku cadangan, lalu menghilang begitu saja, dan bahkan alih profesi, bukan akibat force majeure seperti cedera berat, tapi sudah jenuh saja performa menurun terus, emosi yang tidak terkendali, kalah bersaing (terutama dari pemain asing), terpengaruh gaya hidup yang salah+popularitas, terkontaminasi dari hal2 yg buruk dlm berkompetisi (misal permainan kasar lawan yg dibiarkan), & akhirnya menyerah. Ambil contoh, ke mana keberadaan striker muda berbakat Syamsir Alam dan Angga Febriyanto yang merupakan pemain kelas timnas junior? Menghilang begitu saja, baik di kompetisi liga maupun timnas level senior.
Nasib serupa juga hampir dialami striker andalan timnas Indonesia U-22 Marinus Wanewar. Attitude-nya yang cepat emosian membuat performanya naik turun. Apalagi di klubnya saat itu (2018) Bhayangkara FC, Marinus menjadi cadangan abadi setelah striker asing David da Silva dan striker naturalisasi Herman Dzumafo. Marinus pun hanya berperan sebagai super-sub, dan performanya lumayan walaupun tidak istimewa. Dari 18 penampilannya, Marinus mencetak 3 gol. Performa yang lumayan tsb sbnrnya berlanjut ke timnas Indonesia U-22, apalagi Ezra tidak diizinkan klubnya, shg mau ga mau Marinus menjadi pilihan utama. Di sinilah awal kebangkitan seorang Marinus. Asisten kepala delegasi timnas Indonesia U-22 yang juga anggota kepolisian, AKBP Sumardji yang ternyata manajer Marinus di Bhayangkara FC, memiliki peran penting bagi performa Marinus di Piala AFF U-22 tahun 2019. Marinus tampil tajam di turnamen singkat tsb dengan torehan 3 gol. Bahkan, ketika tidak mencetak gol, Marinus berperan penting sebagai pemantul bagi rekan2nya yang lain. Pendekatan yg dilakukan Sumardji lebih kepada pendekatan psikologis, bagaimana agar Marinus bermain dengan hati dan senyaman mungkin. "Setiap sebelum laga, selalu saya elus2, kamu harus punya hati, kamu harus bermain dengan hati, jangan marah, dsb. Ini ibarat bentuk perhatian orangtua ke anak" lanjut Sumardji (sumber: https://bolalob.com).
Ujian berat Marinus di timnas kmrn ya saat di final melawan Thailand, bertemu bek raksasa keturunan Italia yg bernama Marco Ballini. Marinus, yg bertinggi badan 180 cm (sdh tinggi ideal sbnrnya) dihadapkan dengan bek raksasa bertinggi badan 198 cm (lbh pantas jadi pebasket NBA😁). Bek tsb tdk hny kuat bertahan, tapi juga pintar memancing emosi lawan. Berkali2 Ballini memprovokasi Marinus, tp Marinus terlihat tidak terpancing emosi dan tersenyum ketika dizalimi (biasanya langsung membalas bak preman/petinju kelas berat hehe..). Permainan Marinus sendiri memang tidak terlalu berkembang, dikunci oleh Ballini, tapi Marinus berhasil menjadi tembok bagi rekan2nya. Sebuah kedewasaan yg luar biasa dari seorang Marinus yg skrg menjelma menjadi preman pensiun. Sekarang Marinus akan dikembalikan ke klub pemilik sesungguhnya, yaitu Persipura, klub tanah kelahirannya, Papua. Sedangkan, Bhayangkara FC hny peminjam saja. Semoga saja nantinya Marinus menjadi pemain inti di Persipura.
Marinus boleh saja bangkit, lalu rekan setimnya di timnas Sani Rizki Fauzi jadi idola baru stlh gol penting penyama kedudukan di final, & membanggakan institusinya (kepolisian), serta Winger cepat Osvaldo Haay yg selalu dpt tempat di tim inti baik di timnas Indonesia U-22 maupun klubnya Persebaya. Tapi, sy lbh menyoroti bgmn dgn sebagian pemain di timnas Indonesia U-22 yg bermain reguler, tp saat kembali memperkuat klub di kompetisi kasta tertinggi Indonesia (Liga 1) dikhawatirkan hanya duduk bangku cadangan saja, bukan bagian dari pemain inti di klub tsb. Alasannya adalah:
Lantas, bagaimana Solusinya? Mnrt saya ada beberapa alternatif:
Nasib serupa juga hampir dialami striker andalan timnas Indonesia U-22 Marinus Wanewar. Attitude-nya yang cepat emosian membuat performanya naik turun. Apalagi di klubnya saat itu (2018) Bhayangkara FC, Marinus menjadi cadangan abadi setelah striker asing David da Silva dan striker naturalisasi Herman Dzumafo. Marinus pun hanya berperan sebagai super-sub, dan performanya lumayan walaupun tidak istimewa. Dari 18 penampilannya, Marinus mencetak 3 gol. Performa yang lumayan tsb sbnrnya berlanjut ke timnas Indonesia U-22, apalagi Ezra tidak diizinkan klubnya, shg mau ga mau Marinus menjadi pilihan utama. Di sinilah awal kebangkitan seorang Marinus. Asisten kepala delegasi timnas Indonesia U-22 yang juga anggota kepolisian, AKBP Sumardji yang ternyata manajer Marinus di Bhayangkara FC, memiliki peran penting bagi performa Marinus di Piala AFF U-22 tahun 2019. Marinus tampil tajam di turnamen singkat tsb dengan torehan 3 gol. Bahkan, ketika tidak mencetak gol, Marinus berperan penting sebagai pemantul bagi rekan2nya yang lain. Pendekatan yg dilakukan Sumardji lebih kepada pendekatan psikologis, bagaimana agar Marinus bermain dengan hati dan senyaman mungkin. "Setiap sebelum laga, selalu saya elus2, kamu harus punya hati, kamu harus bermain dengan hati, jangan marah, dsb. Ini ibarat bentuk perhatian orangtua ke anak" lanjut Sumardji (sumber: https://bolalob.com).
Ujian berat Marinus di timnas kmrn ya saat di final melawan Thailand, bertemu bek raksasa keturunan Italia yg bernama Marco Ballini. Marinus, yg bertinggi badan 180 cm (sdh tinggi ideal sbnrnya) dihadapkan dengan bek raksasa bertinggi badan 198 cm (lbh pantas jadi pebasket NBA😁). Bek tsb tdk hny kuat bertahan, tapi juga pintar memancing emosi lawan. Berkali2 Ballini memprovokasi Marinus, tp Marinus terlihat tidak terpancing emosi dan tersenyum ketika dizalimi (biasanya langsung membalas bak preman/petinju kelas berat hehe..). Permainan Marinus sendiri memang tidak terlalu berkembang, dikunci oleh Ballini, tapi Marinus berhasil menjadi tembok bagi rekan2nya. Sebuah kedewasaan yg luar biasa dari seorang Marinus yg skrg menjelma menjadi preman pensiun. Sekarang Marinus akan dikembalikan ke klub pemilik sesungguhnya, yaitu Persipura, klub tanah kelahirannya, Papua. Sedangkan, Bhayangkara FC hny peminjam saja. Semoga saja nantinya Marinus menjadi pemain inti di Persipura.
Marinus Sang Preman Pensiun😜. Sumber: youtube.com |
- Kompetisi Liga 1 boleh diperkuat 4 pemain asing, 3 bebas, 1 harus Asia. Saya perhatikan, hampir semua klub Liga 1 umumnya menggunakan semua kuota pemain asing di posisi yg sama, yaitu 1 striker murni/target man, 1 attacking playmaker, 1 defender, sedangkan kuota Asia biasanya untuk 1 striker pelapis atau 1 deep-lying playmaker. Ketika semua kuota pemain asing terisi, maka kemungkinan pemain lokal berbakat (di keempat posisi tsb) bermain di tim inti semakin kecil. Blm lg persaingan dgn pemain lokal yg lbh senior. Melihat hal tsb, bnyk pihak yg mengkhawatirkan beberapa pemain andalan timnas Indonesia U-22 seperti playmaker Gian Zola, bek tengah Nur Hidayat & Bagas Adi, serta gelandang bertahan sekaligus bek kanan Asnawi Mangkualam akan menjadi cadangan abadi di klubnya masing2 yg merupakan klub elite Liga 1
- Ternyata itu belum cukup, ada banyak pemain naturalisasi (pemain asing yang jadi WNI) mengantre untuk memperkuat klub Liga 1 membuat pemain lokal muda berbakat semakin berat persaingannya. Apalagi saat ini keran pemain naturalisasi masih dibuka, sehingga menjadi rebutan klub Liga 1 untuk merekrutnya. Untuk pemain naturalisasi kebanyakan di posisi striker & defender. Hrsnya pemain naturalisasi disetop dulu (mgkn demi kepentingan bisnis juga jadi diteruskan sampai skrg🤔), toh tdk terlalu berdampak signifikan bagi prestasi timnas. Eksistensi pemain asing dan naturalisasi tsb dianalogikan spt keberadaan tenaga kerja asing yang siap menguasai lahan milik Indonesia dan membuat orang pribumi tersisihkan di negeri sendiri...ironis memang
- Demi kepentingan bisnis (termasuk rating) dan memuaskan suporter yg haus kemenangan memang mengharuskan klub Liga 1 menggunakan pemain terbaiknya (trmsk pemain asing & naturalisasi) di setiap pertandingan kompetisi resmi, agak riskan memainkan pemain yg dianggap junior. Ada beberapa pelatih yg berani melakukan rotasi, tapi tetap saja, utk posisi tertentu dikuasai pemain asing dan naturalisasi
- Untuk menampung pemain Indonesia U-22 berbakat ini, baiknya PSSI bekerja sama dengan 1-2 klub Liga 1 untuk merekrut semua pemain lokal tanpa pemain asing dan juga tanpa pemain naturalisasi saat berkompetisi. Bahkan tim pelatihnya juga harus lokal. Nah, sebagai imbalannya, diberikanlah subsidi yang lebih besar dibanding kompetitornya, berikut bonus2 lainnya, trmsk bantuan sponsor misalnya. Saya yakin, tim2 medioker bnyk yg tertarik. Ujung2nya, membantu program timnas juga
- Khusus timnas Indonesia U-22 sudah saja dikontrak PSSI menjadi suatu klub profesional, sehingga jika tidak membela negara, bisa bertanding di liga profesional yang kekurangan peserta, misal di Singapura. Tentunya harus menyesuaikan jadwal juga antara liga dan timnas
- Kurangi kuota pemain asing (dari 4 menjadi 3) & setop menaturalisasi pemain
- Kompetisi Liga 1 berjalan spt biasanya, dgn dgn jumlah kuota pemain asing yg sama spt sblmnya, namun pergantian pemain agar ditambah dari 3 menjadi 5 misalnya (diusulkan ke FIFA jauh2 hari sblmnya). Sbnrnya sdh dari dulu FIFA mewacanakan penambahan pergantian pemain lebih dari 3 pada pertandingan resmi, tapi hanya sebatas wacana saja sampai sekarang😜. Padahal, hal tsb penting agar memberi kesempatan lbh banyak bagi pemain lokal yg sering di duduk di bangku cadangan utk bermain dan mencegah kariernya mentok. Di samping itu, pelatih pun bisa lebih leluasa menyiapkan alternatif strategi. Konsekuensinya, injury time tinggal ditambah satu menit toh tdk terlalu mengganggu
- Tingkatkan kualitas kompetisi (mulai dari perangkat pertandingan, pengadaan fasilitas, penegakan rule of the game and fair play, pembinaan pemain, pelatih, & ofisial tim yg hrs sejalan dgn standar kurikulum FIFA, serta ketertiban suporternya. Lalu transparansi, khususnya yg berkaitan dgn bisnis dan tentu saja pembenahan organisasi PSSI itu sendiri. Studi banding & transfer knowledge baiknya dilakukan scr konsisten
- Sudah saja para pemain timnas Indonesia U-22 dikontrak oleh klub2 profesional di luar negeri spt halnya Egy yg bermain di Liga Polandia & Ezra di Liga Belanda, tapi harus ada kontrak tertulis bahwa pemain wajib dimainkan di tim inti selama mgkn dan juga kewajiban membela tim nasional sebagai bagian tugas negara, baik itu diakui FIFA maupun tidak. Tentunya harus diperhatikan jadwal bertandingnya, antara klub dan timnas harus selaras
- Jgn euforia akbt baru saja juara, dielu2kan bnyk org, bertemu presiden, & dpt bonus besar. Hrs ada tim khusus utk mengatasi penyakit star syndrome & cepat puas
Blog 2: healthyhumanityvicagi.blogspot.com
Blog 3: listrikvic.blogspot.com