Hari Anti Korupsi Sedunia diperingati tiap tanggal 9 Desember, bertepatan dengan Hari Besar Pilkada🤭. Hari Anti Korupsi Sedunia ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak meloloskan konvensi (kesepakatan dan perjanjian antar negara) tentang anti korupsi tahun 2003. Hal ini menjadi pengingat bagi setiap negara peserta PBB bahwa korupsi merupakan masalah serius yang bisa menghancurkan negara tersebut secara perlahan di semua sektor dan bahkan merusak hubungan dengan negara lain karena bagaimana negara lain mau percaya jika di suatu negara tingkat korupsinya begitu parah. Tentunya akan menimbulkan kekhawatiran dari negara lain jangan-jangan saat akan mengadakan kerja sama internasional pun akan dikorupsi pula🤭. Di samping itu, perlu ada ratifikasi (perubahan) konvensi mengingat kasus korupsi semakin beragam dan canggih.
Presiden Jokowi menegaskan bahwa pada mulanya hukuman mati diterapkan pada kasus narkoba dan mulai terlihat hasilnya. Namun, dia juga ingin hukuman mati diterapkan pada koruptor seperti yang berhasil diterapkan di Tiongkok. Hukuman mati bagi koruptor terutama untuk kasus korupsi berat yang berkaitan dengan bencana dengan sasaran untuk rakyat kecil yang sangat membutuhkan, seperti pengadaan bantuan sosial (bansos) Covid-19 untuk kepentingan rakyat. Sejauh ini, belum ada koruptor di Indonesia yang dihukum mati dengan berbagai pertimbangan.
Berkaitan dengan kasus korupsi berat yang berkaitan dengan bencana, baru-baru ini Menteri Sosial, Juliari Batubara, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Minggu, tanggal 6 Desember 2020 akibat kasus korupsi pengadaan bansos Covid-19 diduga sebesar Rp. 17 miliar. Model korupsinya adalah bansos berbentuk sembilan bahan pokok (sembako). Vendor yang (sengaja) dipilih diwajibkan membayar fee untuk setiap paket sembako. KPK menyebut besaran fee sebesar Rp. 10000 per paket sembako (harga 1 paket sembako Rp. 300 ribu). Bisa dibayangkan fee dari seluruh paket sembako untuk rakyat Indonesia. Akibatnya, kualitas sembako pun diturunkan. Di samping itu, besaran bantuan yang sudah dicairkan oleh pusat pun rentan dikorupsi. KPK pun masih menyelidikinya. Sebelum terjadi kasus ini, kalangan pengusaha mengaku curiga karena pola komunikasi dengan Kementerian Sosial tidak jelas dan terlalu panjang mata rantainya. Akibatnya, pengusaha tidak pernah dihubungi langsung oleh Kementerian Sosial (sumber: nasional.tempo.co dan www.cnbcindonesia.com).
Masyarakat pun dibuat geleng-geleng kepala, bagaimana bisa seorang menteri yang sudah memiliki jabatan tinggi, berani berkoar-koar melarang oranglain korupsi, lalu sudah sangat kaya (bahkan bisa disebut sultan) dengan memiliki harta kekayaan lebih dari Rp. 40 miliar, masih saja tega melakukan korupsi. Lebih kesal lagi yang dikorupsi adalah bansos Covid-19 yang sangat dibutuhkan oleh rakyat kecil.
Namun, penulis tidak membahas sisi psikologis (empati dan kemanusiaan), melainkan menelaah argumen yang pro dan kontra tentang penerapan hukuman mati bagi tersangka kasus korupsi yang berkaitan dengan bencana yang mungkin bisa diterapkan pada tersangka korupsi bansos Covid-19 Juliari Batubara. Tentunya berdasarkan perspektif hukum nasional dan penulis berusaha bersikap netral menyikapinya.
Argumen yang pro
1. Menurut Firli Bahuri, Ketua KPK, hukuman mati bagi koruptor dimungkinkan karena sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 Tahun 1999 pasal 2 bahwa perbuatan sengaja memperkaya diri atau oranglain, melawan hukum, menyebabkan kerugian negara, serta berkaitan dengan korupsi bantuan sosial (sebagaimana diatur dalam ayat 2) bisa diancam dengan hukuman mati. Sementara Juliari Batubara untuk sementara baru bisa dijerat dengan pasal 12 UU Tipikor yang isinya bahwa pelaku dapat dipidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, juga denda pidana minimal Rp. 200 juta serta maksimal Rp. 1 M (sumber: bogor.pikiran-rakyat.com)
2. Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan (Menko Polhukam), juga mendukung hukuman mati bagi pelaku. Dasar hukumnya pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 juncto (berhubungan dengan) pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Cuma harus diperjelas untuk penafsiran bencana alam maupun bencana non-alam jika dihubungkan dengan bencana Covid-19 (sumber: nasional.kompas.com). Sedangkan untuk pasal 55 ayat 1 ke-1 dijelaskan bahwa pelaku adalah orang yang melakukan dan menyuruh melakukan
3. Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpendapat bahwa hukuman mati untuk koruptor diatur dengan jelas dalam UU Tipikor terbaru Nomor 20 Tahun 2001 pasal 2 ayat 2 bahwa hukuman mati bagi koruptor bisa diberlakukan untuk kasus korupsi penanggulangan:
a. Bencana alam dan non-alam
b. Keadaan bahaya
c. Kerusuhan sosial yang meluas
d. Krisis ekonomi
e. Pengulangan tindak pidana korupsi
(sumber: www.suara.com)
Juliari Batubara memenuhi syarat untuk dihukum mati karena diduga melakukan korupsi penanggulangan bencana non-alam dan keadaan bahaya, dalam hal ini pengadaan bansos Covid-19 yang sangat dibutuhkan oleh rakyat yang sedang tertimpa musibah
4. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung pelaksanaan hukuman mati bagi koruptor bansos Covid-19 karena dana yang dikorupsi untuk kepentingan bangsa Indonesia dan dalam kondisi kesulitan juga akibat pendemi Covid-19 (sumber: fixpalembang.pikiran-rakyat.com)
5. K.H. Adang Jajuli, ulama dan tokoh masyarakat Banten, berpendapat:
a. Pelaku korupsi dana sosial layak dihukum mati karena telah menyengsarakan dan membunuh orang banyak. Sesuai ajaran Islam, siapa yang menghidupi manusia sama dengan menghidupi semua orang, tetapi siapa yang membunuh satu orang sama saja membunuh semua orang. Dan korupsi termasuk perbuatan membunuh kehidupan orang banyak. Apalagi rakyat sedang mengalami kesulitan akibat pandemi Covid-19
b. Hukuman mati tidak bertentangan dengan Hukum Agama Islam karena daya merusaknya yang bisa menimbulkan kematian banyak orang
c. Ketiadaan suri keteladanan sebagai sosok pejabat. Ironisnya, pejabat yang bersangkutan sempat berbicara kepada wartawan seputar bahaya korupsi dan melarang untuk berbuat korupsi
d. Hukuman mati perlu sebagai efek jera ke depannya
(sumber: depok.pikiran-rakyat.com)
Jadi, korupsi ibarat pandemi tambahan yang tidak kalah ganasnya dari pandemi Covid-19 karena bisa "menularkan" sesuatu yang buruk bagi tatanan kehidupan orang banyak. Bagi pelaku, korupsi "menularkan" rekan-rekannya untuk terlibat demi memperkaya diri dengan syarat saling menutupi. Sementara bagi rakyat kecil tidak dapat menerima hak yang semestinya seperti bansos yang layak, semakin sengsara hidupnya, depresi, dan akhirnya (maaf) mati secara perlahan. Ada kaidah fikih yang mendukung pendapat di atas bahwa mencegah kemudaratan lebih utama daripada mengambil manfaat. Perilaku korupsi yang mulai marak harus segera dicegah agar tidak bertambah parah ke depannya. Kalaupun berbenturan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), perlu diketahui bahwa HAM itu ada pembatasannya sesuai undang-undang demi menghormati HAM lainnya yang lebih luas, yaitu hak asasi rakyat. Pembatasan tersebut diantaranya melalui pemberlakuan hukuman mati.
Argumen yang kontra
1. Menariknya, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, justru berbeda pendapat dengan atasannya sendiri. Apa yang dilakukan oleh Juliari Batubara cenderung kepada suap atau gratifikasi, sehingga sulit untuk dihukum mati. Uang korupsi dana bansos dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) mengalir bukan langsung ke Juliari Batubara, melainkan kepada rekanan penyelenggara negara dan status Juliari hanya menerima dari rekanan tersebut, sehingga dijerat dalam pasal 12 UU Tipikor. Perlu pembuktian yang lebih kuat jika ingin dijerat pasal 2 ayat 2 UU Tipikor terbaru (sumber: potensibisnis.pikiran-rakyat.com)
2. Asrul Sani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menyatakan pasal yang dijerat baru pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999. Tidak bisa diancam dengan hukuman mati yang berbeda pasalnya (pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999). Kecuali kalau dari awal sudah dijerat dengan pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 (sumber: www.cnnindonesia.com)
3. Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, menyatakan:
a. Tidak ada satu kejahatan pun yang dapat diselesaikan dengan pemberlakuan hukuman mati
b. Negara yang berhasil menekan angka korupsi justru tidak memberlakukan hukuman mati, seperti Denmark, Finlandia, Selandia Baru
c. Seharusnya lebih diprioritaskan memperbaiki sistem pengawasan di pemerintahan dan kebijakan penanganan pandemi
(sumber: tirto.id)
4. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa pemiskinan koruptor lebih efektif daripada hukuman mati. Dengan pemiskinan, uang yang dirampok oleh koruptor dapat diselamatkan dan kembali kepada negara. Berbeda dengan hukuman penjara yang membebani anggaran negara dan hukuman mati yang sudah tidak populer di banyak negara maju (sumber: mediaindonesia.com)
5. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Rama, menyatakan hukuman mati bagi koruptor tidak akan memberikan efek jera. Hal ini sudah dibuktikan melalui banyak penelitian ilmiah yang hasilnya menyatakan hukuman mati bagi koruptor tidak memberikan efek jera
(sumber: nasional.kompas.com)
Jika dikaitkan dengan HAM, pandangan dari Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Pemantau HAM, bisa dicermati. Beliau menyatakan bahwa hukuman mati merupakan bentuk pelanggaran HAM karena tidak menghormati hak hidup oranglain. Tidak seorangpun boleh mencabut nyawa oranglain, sekalipun itu negara.
Baik argumen yang pro maupun kontra memiliki alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Walau ada perbedaan pendapat soal penerapan hukuman mati untuk koruptor kelas kakap dan kasus bansos, semua pihak satu suara agar korupsi harus segera dihapuskan dari muka bumi, termasuk Indonesia.
Saya berharap agar kasus korupsi di Indonesia yang mulai marak kembali, khususnya kasus korupsi bansos Covid-19 dapat diusut secara tuntas, pelaku yang masih berkeliaran segera ditangkap, dan dihukum seberat-beratnya. Jangan sampai, kasus tersebut menguap dan teralihkan dengan topik lain (pengalihan isu). Bagaimanapun rakyat sudah dibuat geram dengan ulah koruptor ini. Rakyat kecil menjadi semakin miskin hidupnya, terzalimi, dan kehilangan hak untuk mendapatkan bantuan yang layak akibat ulah koruptor yang serakah.
Di Saat Anak Buah Pak Menteri Sedang Giat-Giatnya Mensosialisasikan Gerakan 3 M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, & Menjaga Jarak), Eh Pak Menterinya Sendiri Malah Sibuk Dengan 17 M 🤭 |
Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan & kemanusiaan, full text english), ketiga (tentang masalah & solusi kelistrikan), dan keempat (tentang hewan peliharaan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya: