Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sanksi pidana di Indonesia meliputi penjara (tindak pidana berat), kurungan (tindak pidana ringan/pelanggaran), dan denda. Khusus denda, bisa untuk menggantikan hukuman kurungan, tapi tidak bisa menggantikan hukuman penjara.
Baru-baru ini pemerintah mewajibkan masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengikuti program vaksinasi Covid-19 yang dilakukan sebanyak 2 kali secara bertahap, gratis, dan dihubungi lewat SMS/WA. Program tersebut mulai berlaku sejak tanggal 13 Januari 2021 dan berlangsung sampai sekarang. Khusus tenaga medis ditargetkan selesai bulan April 2021 (sumber: kesehatan.kontan.co.id). Sedangkan untuk warga biasa masih berlangsung sampai sekarang. Sampai bulan Juni 2021 saja, masih banyak warga yang belum menerima SMS/WA soal vaksin Covid-19. Tentunya ketika program vaksinasi Covid-19 massal gratis mulai digalakkan, mendapatkan antusias yang luar biasa dari masyarakat sehingga kuotanya pun dibatasi demi mencegah kerumunan melalui pendaftaran online (siapa cepat dia dapat). Bahkan, program vaksinasi Covid-19 massal gratis di beberapa puskesmas ditunda sementara akibat banyak tenaga kesehatan yang tertular virus Covid-19😱.
Mengapa warga begitu antusias dengan program vaksinasi covid-19 massal gratis?
1. Jelas, sekarang lonjakan kasus Covid-19 luar biasa (serangan gelombang kedua)
2. Bayangkan saja jika harus vaksin Covid-19 secara mandiri di klinik swasta harus mengeluarkan biaya dengan total sekitar Rp. 643 ribu untuk 2 kali suntik di waktu yang berbeda (2 tahap)
3. Warga mulai sadar pentingnya vaksin Covid-19 untuk imunitas tubuh saat menghadapi Covid-19. Kalaupun akhirnya terpapar virus Covid-19, risikonya bisa lebih minimal walau memang banyak faktor nantinya apakah risikonya bisa minimal atau tetap berat
4. Sertifikat vaksin Covid-19 sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan layanan publik, seperti pembuatan/perpanjangan SIM, pembuatan SKCK, kuliah, sampai syarat administrasi CPNS. Syarat tersebut menjadi perdebatan karena terlalu dini untuk diterapkan mengingat program vaksinasi massalnya pun masih sangat terbatas dan target vaksinasi massal masih di bawah 50 %.
Sejauh ini, program vaksinasi Covid-19 di Indonesia masih jauh dari ideal, di bawah 50 % dari jumlah warga kota (anjuran Organisasi Kesehatan Dunia/WHO adalah di atas 50 %, seperti yang sudah dilakukan banyak negara-negara maju di Eropa). Di tempat tinggal saya (Kota Cimahi) baru 13 % dari jumlah warga Kota Cimahi, sangat jauh dari ideal. Tentunya mulai bulan Juni 2021, pemerintah pusat menggalakkan program 1 juta vaksinasi Covid-19 per hari. Untuk mendukung program tersebut, di beberapa tempat tidak mensyaratkan penerima vaksin harus sesuai domisili.
Adapun prioritas penerima vaksin corona berusia 18-59 tahun, dengan prioritas profesi:
1. Kelompok garda terdepan dan pelayanan publik: tenaga medis, paramedis, perawat, polisi, tentara, petugas hukum
2. Tokoh agama / masyarakat dan perangkat daerah, RT, dusun dan kelurahan
3. Pendidik dari semua tingkatan
4. Aparatur pemerintah pada umumnya
5. Prioritas terakhir adalah masyarakat umum lainnya yang berusia 18 hingga 59 tahun dan memenuhi syarat. Diutamakan untuk masyarakat di zona merah dan hitam, serta tingkat interaksinya tinggi. Diprediksi akan dimulai bulan April 2021.
* Khusus masyarakat yang berusia di bawah 18 tahun dan lansia yang berusia di atas 59 tahun harus menunggu uji klinis
(Sumber: Koran Kompas, 28 November 2020 dan kompas.com).
Program vaksinasi Covid-19 di Indonesia produksi Sinovac dan PT. Bio Farma telah mendapatkan izin penggunaan vaksin darurat dari Badan Pengelola Obat dan Makanan (BPOM) dan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mengingat pentingnya program vaksinasi Covid-19 untuk individu dan juga memberikan perlindungan bagi masyarakat yang tidak bisa divaksinasi, serta telah dipertanggung jawabkan oleh pihak berwenang, maka sifatnya menjadi wajib dan memaksa (sumber: kabar24.bisnis.com). Sebagai warga negara yang baik, kewajiban tersebut tentunya harus dipatuhi dan dilaksanakan, sehingga jika dilanggar akan mendapatkan sanksi hukum, masuknya pelanggaran (tindak pidana ringan).
Pemerintah sendiri ini menyatakan bahwa sanksi pidana bagi penolak vaksin Covid-19 merupakan ultimum remidium (upaya terakhir pemberian hukuman) jika norma hukum lainnya (yang lebih persuasif) tidak berfungsi.
Sanksi hukum bagi penolak vaksin Covid-19 diatur dalam:
1. Pasal 93 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, bahwa bagi warga yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dipidana penjara maksimal 1 tahun dan atau denda maksimal Rp. 100 juta
2. Pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, bahwa bagi siapapun yang menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah diancam penjara maksimal 1 tahun dan atau denda maksimal Rp. 1 juta
3. Pasal 14 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19, bahwa vaksinasi diwajibkan bagi warga yang telah ditetapkan sebagai penerima vaksin dan memenuhi syarat tentunya. Akan ada sanksi administratif jika dilanggar:
- Penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial/bantuan sosial
- Penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan (ada sertifikat khusus tanda sudah divaksin untuk syarat juga dalam administrasi pemerintahan dan event besar nantinya)
- Denda.
Di Jakarta, aturan tersebut diperkuat dengan lahirnya peraturan daerah. Termasuk di dalamnya hukuman bagi warga pasien Covid-19 yang kabur dari rumah sakit dan masalah penolakan jenazah yang meninggal akibat Covid-19.
Aturan tersebut (khususnya yang berkaitan dengan sanksi pidana) menimbulkan perbedaan argumen, baik yang pro maupun kontra. Semuanya memiliki alasan yang kuat dan patut diapresiasi.
A. Argumen yang Pro
1. Pemerintah bertanggung jawab dan berkewajiban penuh untuk melindungi kesehatan publik, bukan individu tertentu. Salah satunya mewajibkan program vaksinasi Covid-19 yang sudah teruji untuk warganya yang tentu saja sudah memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, pemerintah wajib memberikan pelayanan kesehatan yang baik untuk memenuhi hak warganya tersebut dan menjamin warganya agar sehat
2. Sanksi hukum penolak vaksin Covid-19 tetap harus ada ketika sosialisasi dan edukasi dari pihak berwenang seperti tenaga medis tidak berhasil, maka harus ada sanksi hukum untuk memberikan kesadaran kepada para penolak vaksin Covid-19 dan juga memberikan keselamatan rakyat
3. Menurut Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, jika seseorang merasa kesehatan adalah hak asasi, maka tidak boleh melanggar hak asasi oranglain. Jadi, kalau seseorang menolak divaksin, maka sebetulnya orang tersebut berpotensi melanggar hak asasi oranglain yang ingin hidup sehat dan tidak ingin tertular. Maka, negara bisa memaksa dengan menerapkan sanksi hukum tersebut. Sanksi hukum dibuat untuk melindungi kepentingan rakyat, bukan individu
4. Memang, pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 terkait dengan pasal 56 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dijelaskan bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak tindakan pertolongan setelah menerima informasi data kesehatan. Namun ada pengecualian jika hal tersebut tidak berlaku pada penderita yang memiliki penyakit menular cepat ke banyak orang
5. Termasuk melanggar pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 jika ada pihak yang memprovokasi oranglain untuk menolak vaksin Covid-19
6. Pasal 93 UU Nomor 6 tahun 2018 tetap dibutuhkan saat bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya mengawal pengadaan vaksin Covid-19 agar tidak terjadi korupsi (sumber: nasional.okezone.com)
7. Vaksin Covid-19 terbukti efektif jika masih terinfeksi Covid-19 pun gejalanya lebih ringan dan pengobatannya lebih mudah tanpa harus dirawat inap di rumah sakit. Sehingga sanksi hukum bagi penolak vaksin Covid-19 perlu diterapkan untuk kebaikan bersama agar program vaksinasi Covid-19 berjalan dengan lancar dan dirasakan manfaatnya.
B. Argumen yang Kontra
1. Sanksi hukum tidak bisa diterapkan secara efektif jika pemerintah daerah (perda) tidak mengaturnya dalam peraturan daerah tersendiri. Jadi kalau mau diterapkan, kuncinya harus satu visi antara aturan di pusat dan daerah. Sebagai contoh di Jakarta sudah ada perdanya dan bisa diterapkan, tapi di Depok belum ada perdanya sehingga sulit untuk diterapkan
2. Penggunaan kata tertentu (dan atau) secara bersamaan pada pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 menimbulkan multitafsir, maka sanksi hukumnya:
a. Bisa pidana penjara atau denda
b. Keduanya sekaligus
(sumber: hukumonline.com)
Seharusnya diperjelas terlebih dahulu sebelum menimbulkan masalah saat penerapannya nanti
3. Menurut Abdul Fickar Hajar, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, pasal 93 UU nomor 6 Tahun 2018 menimbulkan 2 asumsi:
a. Pemerintah harus menerapkan karantina wilayah, bukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau sekarang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)
b. Tindakan yang bisa dipidana adalah perlawanan atas karantina wilayah, bukan menolak vaksin
(sumber: www.cnnindonesia.com)
4. Program vaksinasi Covid-19 yang sifatnya wajib dan memaksa (dengan adanya aturan berikut sanksinya) bisa menjadi bumerang yang memicu orang-orang untuk bersikap antipati. Pendapat tersebut langsung dari World Health Organization. Sebgai contoh, Australia tidak mewajibkan program vaksinasi Covid-19, melainkan bersifat sukarela, hanya di perbatasan menjadi syarat wajib. Lalu, Dimungkinkan juga pemberian insentif bagi warga yang secara sukarela melakukan program vaksinasi Covid-19
5. Berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Alghiffari Aqsa, pengamat Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dari hukumonline.com, kewajiban program vaksinasi Covid-19 bagi warga berpotensi melanggar karena pada dasarnya untuk urusan kesehatan, setiap warga berhak menentukan sediri kesehatan yang diperlukan bagi dirinya (pasal 5 ayat 3 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Bahkan dipertegas dalam pasal 56 ayat 1 UU yang sama, bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak tindakan pertolongan setelah menerima informasi data kesehatan
6. Menurut Asfinawati, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebelum program vaksinasi Covid-19 diberlakukan, seharusnya komunikasi dan sosialisasinya ditingkatkan terlebih dulu, terutama untuk masyarakat terpencil di pedesaan. Tentunya kurang efektif jika hanya mengandalkan media massa (sumber: www.voaindonesia.com). Misalnya saja banyak berita tentang warga yang antipati dengan dengan vaksin AstraZeneca mengingat efek sampingnya yang menakutkan dibanding vaksin jenis lain. Di situ tidak dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk divaksin AstraZeneca harus melalui syarat yang lebih ketat bergantung juga dari kondisi badan si penerima vaksin berikut penyakit penyertanya. Namun, di balik itu, ternyata tingkat keampuhan vaksin AstraZeneca lebih baik daripada vaksin lainnya. Nah, berita yang jelas dan berimbang tersebut dirasa masih kurang. Warga tentunya membutuhkan info yang benar, jelas, dan berimbang, sebelum memutuskan untuk divaksin. Setiap vaksin Covid-19 yang sudah diproduksi tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kebanyakan berita yang ada sekarang sekedar menakut-nakuti atau menilai sisi buruknya saja tanpa ada solusi hanya membuat imunitas tubuh menurun. Anehnya, berita seperti itu yang cepat viral hehe...
7. Adanya kekhawatiran program vaksinasi Covid-19 massal malah mengundang kerumunan dan sumber penularan baru. Vaksin sendiri sifatnya pencegahan, tidak menjamin bebas tertular Covid-19. Perlu protokol kesehatan (prokes) yang ketat, apalagi ini kegiatan massal. Jangan sampai di pusat bagus, tapi di daerah kacau. Jadi, jangan dulu bicara sanksi hukum bagi penolak vaksin Covid-19 jika prokesnya saja saat program vaksinasi Covid-19 massal masih belum dibenahi dan melanggar hukum. Bisa jadi banyak orang menunda divaksin bukan akibat takut divaksin, melainkan khawatir akan potensi kerumunannya yang bisa menjadi sumber penularan Covid-19 secara cepat.
Melihat argumen di atas, tentunya pemerintah harus bersikap bijak dan memperhatikan aspirasi para pihak agar kebijakan yang diambil adalah kebijakan terbaik untuk kepentingan rakyat. Bagi pihak yang kontra, terutama gencar mengkritisi suatu pasal dalam aturan hukum yang berlaku, bisa melakukan uji materi pasal yang dipermasalahkan tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Selama itu tidak dilakukan, maka pemerintah menganggap aturan yang dibuat sudah sempurna, diterima, dan dipatuhi oleh semua pihak.
Artikel blog hukum ini juga dimuat di situs berita online vivanews.co.id .
Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan & kemanusiaan, full text english), ketiga (tentang masalah & solusi kelistrikan), dan keempat (tentang hewan peliharaan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya: