All about Innovation💡, Law⚖️, Management📝, & Soccer⚽: Fenomena "No Viral No Justice" di Indonesia: Akar Masalah dan Solusi⚖️

IWA

Senin, 06 Januari 2025

Fenomena "No Viral No Justice" di Indonesia: Akar Masalah dan Solusi⚖️

Tidak terasa sudah berganti tahun menjadi 2025, semoga berkah dan sehat selalu untuk kita semua. Aamiin. Ini adalah artikel pertama saya di tahun 2025. Menarik, di tahun 2025 ini ada fenomena istilah "No Viral No Justice" di Indonesia yang tetap ramai dibicarakan sejak setahun terakhir ini. Hal ini menjadi menarik untuk dibahas. Arti dari istilah tersebut adalah jika tidak diviralkan di media sosial, ya tidak akan mendapatkan keadilan, terutama untuk rakyat kecil. Jadi harus viral dulu di media sosial, baru didengar dan direspons dengan baik. Mereka yang memviralkan bisa siapa saja, korban itu sendiri, warga sekitar atau orang terdekat yang merekam video lewat HP, dashcam mobil, maupun rekaman CCTV di sekitar lokasi. Keluh kesah di media sosial jauh lebih efektif menuai simpati dan solidaritas dari netizen yang mungkin tidak saling kenal dan mau tak mau menarik perhatian pihak terkait daripada harus melapor/mengadu langsung maupun lewat email. Ini secara tidak langsung merupakan kritik keras untuk penegakan hukum di Indonesia yang masih tebang pilih. Hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Hukum tumpul ke atas karena pelaku orang kaya, punya power dan beking yang kuat, maka hukuman maksimal bisa diakali menjadi jauh lebih ringan. Sementara hukum tajam ke bawah, karena pelaku orang miskin, tidak punya power, dan tidak punya beking, maka hukuman diterapkan semaksimal mungkin. Namun, dengan adanya kontrol sosial ini (diviralkan dulu), banyak ketidakadilan mulai terungkap dan mengundang kemarahan masyarakat. Bentuk kontrol sosial ini juga merupakan kekurangpercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum, terutama saat melapor dan melakukan pengaduan. Daripada mengadu langsung dengan banyak birokrasi dan tambahan biaya ini itu, lebih baik diviralkan saja.


Beberapa bulan terakhir kasus yang viral di Indonesia umumnya berkaitan dengan krisis moral. Pelaku umumnya punya power, kaya harta tapi miskin adab. Yang paling diingat adalah kasus pemukulan terhadap dokter koas, kasus penganiayaan terhadap karyawati toko roti, akhlak yang kurang terpuji dari seorang oknum pendakwah nasional terhadap pedagang es teh yang sebetulnya setia mengikuti kegiatan dakwahnya, aparat penegak hukum yang kurang responsif, dan beberapa kasus kriminal lainnya. Jujur, jika kasus tersebut tidak viral, bisa jadi pelakunya akan dibiarkan bebas dan bertingkah laku semakin seenaknya. Uniknya, setelah viral, bisa merembet ke mana-mana, seperti mengusut asal-usul harta kekayaan pelaku dan orangtua pelaku, apakah wajar atau tidak wajar. Lalu, hikmah bagi korban yang dizalimi mendapatkan dukungan banyak pihak, respons cepat pihak berwenang, simpati masyarakat, bahkan sampai donasi yang begitu besar, tiba-tiba kaya mendadak.


A. Akar Masalah 

1. Masyarakat yang menjadi korban dalam suatu kasus hukum sering dihadapkan dengan oknum penegak hukum yang dirasa masih banyak jumlahnya, terutama ketika akan melapor dan melakukan pengaduan. Oknum ini bukannya memberikan ketenangan, tapi malah mempersulit urusan orang dengan dibebani birokrasi yang ribet dan tambahan biaya. Sudah jatuh tertimpa tangga. Ingat kasus penembakan di rest area Tangerang Merak (masalah penggelapan mobil rental) baru-baru ini, korban, sang pemilik rental mobil, sempat melapor polisi minta didampingi tapi ditolak dengan alasan tertentu. Korban memilih mengejar sendiri bersama komunitasnya. Ending-nya korban justru tewas mengenaskan ditembak pelaku yang ternyata oknum TNI AL. Setelah kasus viral, baru polisi serius mengusutnya


2. Tidak semua orang bisa menyelesaikan konflik dengan orang tak dikenalnya di tempat umum seperti menahan emosi. Misal konflik antar pengguna jalan raya. Banyak aksi koboi jalanan yang lebih mengedepankan emosi, tidak hanya membahayakan korbannya, tapi juga pengguna jalan lain. Selama ini masih sering terjadi, maka dengan memviralkan kejadian tersebut menjadi cara yang sangat efektif untuk memberikan efek jera, tidak hanya untuk pelaku, tapi juga aparat penegak hukum. Cara ini membuat orang harus semakin belajar mengendalikan emosi jika berkonflik di tempat umum


3. Rasio polisi di Indonesia dengan masyarakat Indonesia 1:574, atau 174 polisi untuk 100000 masyarakat, sangat jauh dari ideal, terutama dalam memberikan keamanan di jalan raya dan sekitarnya. Idealnya 1:300 untuk kota besar atau 333 polisi untuk 100000 masyarakat. Ini yang membuat kejahatan jalanan seperti begal, pencurian, dan berandal bermotor masih sulit diatasi. Masyarakat yang sering beraktivitas malam hari harus memiliki cara pengamanan tersendiri ketika melewati jalan yang sepi di malam hari. Yang paling simpel adalah jangan pernah berkendara sendirian saat jam rawan


4. Adanya ego yang tinggi dari orang-orang yang selama ini merasa punya power dan melakukan kesalahan, lalu merasa gengsi untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan kepada oranglain yang dirugikan dan dianggap tidak berdaya. Ketika diviralkan oleh netizen, pelaku baru sadar dan malu sendiri. Ketika viral, maka kesalahan yang dilakukan pelaku pada dasarnya bisa menyakiti hati masyarakat secara umum, jadi harus membuat klarifikasi dan kalau perlu meminta maaf kepada masyarakat luas karena sudah membuat kegaduhan. Sejauh ini, cara seperti ini merupakan kontrol sosial terbaik yang ada di masyarakat. Biasanya akan dipertegas dengan kritik sosial yang bersifat menyindir, misal dengan munculnya meme/lelucon/parodi. Hal tersebut membuat mereka, terutama yang sudah terkenal berhati-hati ketika bertindak dan berbicara di depan umum, harus menjaga lisan jangan sampai ada yang tersinggung 


5. Adanya tebang pilih dalam menyelesaikan suatu kasus hukum. Ketika ada kasus hukum dianggap bukan prioritas, cenderung digantung, namun seketika berhasil diviralkan, maka penanganannya menjadi gercep karena sudah menarik perhatian banyak pihak dan demi menjaga citra aparat penegak hukum juga. Lalu masih ada beking-bekingan demi melindungi pelaku tertentu. Ini adalah fakta yang tidak bisa terbantahkan dan harus segera diatasi. Dengan diviralkan, maka akan cepat diusut 


6. Pemberian hukuman yang tidak adil seringkali membuat masyarakat lebih percaya pada sanksi sosial yang diberikan netizen. Contoh terakhir, pelaku kasus korupsi timah Rp. 300 triliun hanya dihukum ringan 6,5 tahun penjara (mungkin penjaranya pun bisa disulap jadi hotel) dan denda Rp. 1 miliar. Itupun hakimnya terlihat senyum bahagia, seperti kurang ada wibawanya di depan pelaku. Bandingkan dengan kasus korupsi yang lebih ringan di negara lain bisa dihukum mati atau kasus korupsi di negeri ini Rp. 1,1 triliun dengan pelaku Budi Said justru bisa lebih berat hukumannya (15 tahun penjara). Dengan memviralkan ketidakadilan, menjadi kontrol sosial yang efektif untuk mengawal kasus sampai sesuai dengan yang diharapkan 


7. Masyarakat sekitar yang melihat konflik serius di tempat umum, ingin mencari aman juga, jangan sampai niat membantu malah disalahkan, dijadikan saksi, tersangka, atau malah mati konyol akibat jadi korban juga, maka dengan memviralkan setidaknya bentuk kontrol sosial dan kepekaan sosial yang paling aman juga. Tentunya ketika memviralkan sesuatu harus jelas informasi dan sumbernya. Akan terlihat mana yang benar dan salah jika pelaku maupun korban saling memviralkan. Atau keduanya memang salah🤭.

Solusi

1. Fenomena "No Viral No Justice" akan berkurang dengan sendirinya jika ada inovasi dan pelayanan yang lebih humanis, responsif, serta tidak berbelit-belit dari aparat penegak hukum itu sendiri, baik ketika melapor langsung (datang ke tempat) maupun tidak langsung (lewat email misalnya). Hilangkan kesan percuma lapor.... atau malah harus ada birokrasi ribet dan biaya ini itu agar cepat diusut. Tidak boleh ada pilih kasih lagi. Dan mereka harus selalu diingatkan bahwa mereka dibayar dari pajak rakyat. Jangan sampai korban yang melapor ditolak, dipingpong, dan membuat korban tambah bingung, nekat main hakim sendiri, atau nekat mencari pelaku sendiri hingga malah jadi korban


2. Beri apresiasi khusus kepada aparat penegak hukum yang baik, berprestasi, dan disukai masyarakat. Jadikan mereka teladan bagi rekannya dan cepat naik pangkat. Kalau perlu publikasikan agar masyarakat mengetahuinya. Selama ini, berita yang lebih cepat viral malah perilaku oknum aparat penegak hukum


3. Tingkatkan rasio aparat penegak hukum agar mencapai titik ideal. Seperti kepolisian, idealnya 333 polisi untuk 100000 masyarakat


4. Kerja sama dan studi banding dengan negara lain yang sudah lebih maju sistem hukum dan kepatuhan hukumnya, serta rendah korupsinya, seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia. Sudah pasti penduduknya lebih makmur dan sejahtera. Sistem ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi) diperlukan di sini, disesuaikan dengan kondisi bangsa dan karakteristik masyarakatnya. Jika sudah berhasil dilakukan, saya yakin fenomena "no viral no justice" akan berkurang dengan sendirinya


5. Edukasi tentang pentingnya kesadaran hukum, berpikir bijak ketika menghadapi konflik, cara menegur yang sopan, pengendalian emosi, berjiwa ksatria mengakui kesalahan, sampai menjaga kesehatan fisik maupun mental. Edukasi tersebut harus diajarkan sejak dini. Di kita, yang melanggar hukum (apalagi saat berlalu lintas) malah lebih galak daripada yang patuh hukum. Tingkatkan pula kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Krisis moral ini harus segera diatasi, kalau perlu ditambahkan dalam kurikulum pendidikan dengan mengurangi pelajaran ilmu yang semata-mata hanya berkaitan dengan otak kiri dan membuat jenuh siswa. Tentunya pendidikan moral ini sebaiknya dikombinasikan dengan kesehatan mental (pengendalian emosi), dan kepedulian sosial 


6. Terbuka menerima kritik dan saran yang membangun. Bukan sekedar numpang lewat saja, tapi direspons dengan baik untuk menjadi evaluasi ke depannya. Jika sarana pengaduan sudah humanis dan responsif, maka tidak perlu ada "harus viral dulu"


7. Perbaiki pola rekrutmen aparat penegak hukum. Kembali lagi terbuka menerima masukan, syarat apa yang harus diperbaiki, terutama yang berkaitan dengan attitude. Jangan sampai kita dengar konflik terjadi antar sesama aparat penegak hukum sampai saling bunuh. Belum lagi masih ada beking-bekingan untuk melindungi pelaku tertentu. Itu menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Jangan sampai ada anggapan, di internal saja sudah saling bunuh, apalagi dengan masyarakat biasa. Di samping itu, tingkatkan kekompakan dan koordinasi antar sesama para aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, KPK, BPK, sampai hakim. Juga, jangan lupakan juga peran tentara, walaupun bukan aparat penegak hukum (melainkan alat pertahanan negara), kehadiran mereka juga penting ketika terjadi konflik di masyarakat, gangguan keamanan, Dan memberantas penyakit masyarakat 


8. Libatkan peran serta masyarakat ketika terjadi pelanggaran hukum. Beri mereka apresiasi khusus, terutama jika kasus hukumnya serius


9. Pemberian hukuman harus seadil-adilnya, tidak boleh ada lagi pilih kasih.


Harus diakui, kontrol sosial terbaik di negeri ini adalah VIRALKAN & NETIZEN. Jika sudah viral, maka respons gercep dari pihak berwenang karena kasus sudah menjadi perhatian publik dan jika tidak cepat direspons takut merusak citra aparat penegak hukum, menurunkan kepercayaan masyarakat, dan meruntuhkan wibawa pemerintah.


Keadilan hukum di dunia memang tidaklah sempurna dan terkadang merugikan mereka yang lemah. Tapi, percayalah, semuanya akan dibalas setimpal lewat keadilan yang sesungguhnya, yaitu keadilan Allah Swt di akhirat kelak.


Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english), ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan), serta keempat (tentang hewan peliharaan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya: 

Blog 2: healthyhumanityvicagi.blogspot.com

Blog 3: listrikvic.blogspot.com 

Blog 4: petsvic.blogspot.com




4 komentar:

1. Silakan berkomentar secara bijak
2. Terbuka terhadap masukan untuk perbaikan blog ini
3. Niatkan blogwalking dan saling follow blog sebagai sarana silaturahim dan berbagi ilmu/kebaikan yang paling simpel. Semoga berkah, Aamiin :)😇
4. Ingat, silaturahim memperpanjang umur...blog ;)😜

Fenomena "No Viral No Justice" di Indonesia: Akar Masalah dan Solusi⚖️

Tidak terasa sudah berganti tahun menjadi 2025, semoga berkah dan sehat selalu untuk kita semua. Aamiin. Ini adalah artikel pertama saya di ...